“Kata orang, kesan pertama haruslah memukau, selanjutnya, terserah. Aku tak percaya itu, karena kesan pertamaku denganmu adalah mimpi buruk dan selamanya akan begitu.” –Angelica Reviera (Angie/Jiji)–
***
Seorang pria muda dengan penampilan perlente berada di sebuah ruangan dikelilingi pria berpakaian serba hitam yang berdiri di sekitarnya. Di depannya, duduk seorang berpenampilan nyaris sama dengannya, elegan dan mahal, juga para pengawal yang berjaga tak jauh dari tempat mereka.
Tak berselang lama, lima wanita berpakaian minim masuk, berdiri di ruangan, dan berpose memamerkan lekuk tubuh masing-masing. Harapan mereka, malam ini akan jadi malam yang menguntungkan.
Menjadi budak pria muda perlente, jauh lebih baik bagi wanita-wanita itu dibanding harus mengarungi ribuan mil di tengah samudra hanya demi bertahan hidup. Pasrah berpindah dari tangan ke tangan, atau melawan—tetapi bersiap untuk tinggal nama.
“Apa ini?” tanya pria perlente saat lima wanita kini mengerubuti layaknya lebah menghampiri bunga.
“Kompensasi, Mike. Tidakkah mereka menggiurkan bagimu?” jawab pria dengan bekas sayatan luka di mata sebelah kanan—menyeringai, menampakkan deretan gigi yang tampak kusam akibat efek alkohol. Dari penampilannya jelas terlihat kalau dia adalah seorang pecandu. Tepatnya, pecandu dan seorang yang bergelut di bidang human trafficking.
“Aku tidak butuh wanita.”
“Oh, ayolah, Mike Genosie. Aku tahu seperti apa dirimu. Kau tak pernah bisa lepas dari kehidupan semacam itu. Aku hanya memudahkan agar kau tak perlu keluar masuk kelab hanya demi sebuah kenikmatan. Mereka adalah barang bagus. Salah satunya bahkan masih perawan.”
BRAKK!
“Uang atau kepalamu?” Mike mengarahkan moncong benda di tangan ke arah pria itu, sementara yang lain di belakang mereka, mulai saling menodongkan senjata.
Pria bertubuh tambun di hadapan Mike tergelak, lalu berdiri dan bertepuk tangan. Baru kali ini, transaksi jual beli yang mereka lakukan terasa begitu alot.
“Kau masih sama seperti sebelumnya. Ambisius, pemarah, dan ceroboh.” Dia mengeluarkan cerutu, mengisapnya dengan nikmat, lalu meniupkan asap ke wajah Mike. “Wanita-wanita itu, atau tidak sama sekali.”
Mike menyeringai, memasukkan pistol ke balik jas yang dia kenakan, lalu kembali duduk di tempat semula. Tak ada respon dia berikan. Namun, saat pria di hadapannya lengah, dia keluarkan kembali benda kesayangan dan menembaki satu per satu anak buah pria tambun dan menyisakan hanya dirinya seorang.
Pistol Mike kini tepat di kening pria tambun yang menatapnya dengan sorot mengiba.
“Mike, ki-kita bisa bicarakan baik-baik. Tak apa kalau kau tidak menginginkan wanita-wanita itu–”
“Berikan ceknya, atau kau akan kehilangan nyawa sekarang.”
Pria itu mengangguk—gemetaran, meraih sesuatu dari balik jas, menulis dan menanda tangani, lalu menyerahkan pada Mike yang dengan segera memasukkan benda itu ke dalam saku.
“Terima kasih untuk transaksi hari ini,” ucap Mike, kemudian menarik pelatuk dan seketika itu, cipratan darah mengenai wajahnya dan dengan tenang dia usap menggunakan punggung tangan. “Urus wanita-wanita itu. Kalian tahu caranya.”
Mike berbalik setelah memberi titah dan pergi meninggalkan ruangan disusul suara pekik ketakutan berbarengan dengan suara tembakan bertubi-tubi.
Transaksi telah selesai.
***
Suara musik berdentum memekakkan telinga seorang gadis yang tengah berada di sana. Tampak tak terbiasa dengan kebisingan kelab malam dan segala hingar bingar, dia hanya duduk kaku sembari terus celingukan. Dia tak datang seorang diri, melainkan dengan seorang gadis lain yang terlihat tengah mengedar pandangan ke tiap sudut ruangan yang dipenuhi sorot lampu berkelap-kelip.