“Apakah Tuhan ada dan mengatur hidup manusia? Jika iya, mungkin Dia sedang membercandaiku, sekarang, sehingga mempertemukanku dengan gadis aneh sepertimu.” –Michael Genosie (Mike)–
***
Setengah jam sudah Mike memandangi gadis teler di atas ranjang. Bayangan tentang malam panas yang berkesan rupanya tak akan pernah terjadi.
Gadis kelab tadi mengatakan kalau Angie, gadis yang ada bersamanya sekarang, masih ‘tersegel’. Dia yakin tak salah dengar. Seperti jackpot baginya, bukan? Namun, hal itu tetap tak berhasil memunculkan letupan hormon dalam dirinya.
Mike memandangi Angie dengan tatapan yang dirinya sendiri pun tak mampu pahami. Tangannya terulur, menyibak helaian rambut panjang yang menutupi wajah gadis itu.
Kulitnya seputih susu, dengan wajah tampak bersinar tersorot cahaya rembulan dari celah tirai. Pipinya kemerahan, makin merah karena efek alkohol, dan makin menarik jika dia perhatikan dari jarak sedekat itu.
“Bodoh! Apa yang kulakukan?” gumamnya, lantas menarik selimut menutupi wajah Angie dan bangkit, berjalan mondar-mandir sembari meremas jemarinya sendiri.
Bohong kalau dia mengatakan dirinya tak tergoda. Hanya saja, dari mana harus memulai? Memaksa? Bisa saja, toh gadis itu tidak akan merasakan apa-apa karena dirinya sedang tak sadar.
Tidak, tidak! Kasar terhadap wanita tak pernah ada dalam kamus Mike Genosie. Jika dia ingin melenyapkan seorang wanita, dia bisa lakukan hanya dengan satu jentikan jari—cukup memberi titah.
Mike melepaskan dasi dan kemeja yang sejak tadi serasa mencekik dan membuatnya merasa gerah, meraih sebotol vodka, dan menenggak tanpa aturan. Kalau mabuk, mungkin akan mudah, pikirnya.
Akan tetapi, setelah menghabiskan sebotol penuh dan kedua mata terasa sepat, percikan itu tak juga muncul. Dia sudah melucuti pakaian Angie, juga miliknya, tetapi yang dia lakukan selanjutnya hanya duduk di ranjang dan menatapi gadis yang bahkan tampak semakin lelap.
Apa yang biasa lelaki lakukan jika berada di posisinya sekarang? Mike sama sekali asing akan hal semacam itu. Berurusan dengan wanita saja tak pernah, meski sekadar bersalaman, apa lagi jika harus tidur dengan mereka.
Dia bangkit dan menilik ke luar jendela. Fajar sebentar lagi menyingsing. Suara bising trompet dan ledakan kembang api perlahan mereda. Malam kembali senyap menyisakan suara jangkrik dan katak sisa hujan sore tadi.
Tubuhnya penat, jujur saja. Namun, haruskah barang bagus itu dia anggurkan?
“Sialan! Apa yang kupikirkan tadi? Untuk apa membuang uang hanya demi sesuatu yang tidak berguna?” Dia mengomel, lantas menghempaskan tubuh di ranjang dan tak sadar terlelap setelah lama berpikir.
Tak ada malam panas, tak ada malam indah. Mike dan Angie lelap di atas ranjang yang sama. Meski tanpa busana, tak terjadi apa-apa selain hanya mimpi mereka yang indah di dunia yang berbeda.