Limit Ever

Ana Rizki
Chapter #1

1 : First Impression

Pertama kali aku melihatnya adalah ketika aku datang ke perusahaan konstruksi di kotaku untuk menghadiri interview sebagai karyawan baru di sana. Aku duduk di basement sambil memegangi ponsel ketika untuk yang pertama kalinya kulihat seorang laki-laki tinggi berkaki jenjang dengan celana hitam dan kemeja yang berwarna senada melekat sempurna di tubuhnya. Ia berjalan dengan langkah yang lebar-lebar. Tangannya terlihat kuat ketika ia bergerak menggulung lengan kemejanya hingga siku. Di sana, tampak urat-urat menggoda terdapat di lengannya yang berkulit agak gelap.

Saat pertama kali melihatnya kala itu, aku merasakan ketertarikan yang berbeda setelah perasaan itu tidak kurasakan lagi selama dua tahun. Karena suatu alasan, aku memilih untuk tidak lagi memikirkan tentang percintaan di hidupku. Aku memilih untuk menjalani semuanya sesuai alur kehidupan yang sudah ditentukan, fokus menuntaskan skripsi, fokus mencari pekerjaan, dan fokus bekerja untuk menjadi wanita karir yang sukses.

Sejak kecil, aku mengimpikan menjadi seorang pegawai kantoran di perusahaan konstruksi yang bukan milik ayahku, karena aku ingin belajar semua tentang konstruksi sendiri tanpa campur tangan Ayah.

Bicara soal Ayah, ayahku adalah pewaris perusahaan konstruksi swasta yang berdiri sejak lima puluh tujuh tahun yang lalu. Dari tangan Kakek, perusahaan itu diberikan kepada Ayah yang merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Seperti Kakek, Ayah juga punya lima orang anak. Tiga di antaranya laki-laki dan dua sisanya perempuan, di mana aku sebagai anak bungsu yang paling diperhatikan segala halnya oleh kakak-kakakku.

Karena aku tidak ingin menduduki jabatan tinggi sebagai putri Ayah di perusahaan miliknya, maka di sinilah aku berada sekarang. Di kubikel yang sekarang menjadi tempat favoritku, terlebih ketika seniorku memanggil dan menghampiriku.

“Lin.”

Aku mendongak seraya melepaskan kacamata. “Kenapa, Mas?”

Pertama kali melihat Mas Rahmat, aku merasa segan. Wajahnya yang terlihat tegas dan sangat berwibawa itu sangat jauh dari senyuman ketika dia menatapku. “Kenalan dulu sama karyawan yang lain,” ujarnya mengajakku keluar dari kubikel dan melangkah menyusuri lorong demi lorong, berkenalan dengan karyawan-karyawan lainnya.

“Saya Rahmat,” ucapnya mengulurkan tangan ketika telah selesai membawaku berkeliling kantor. “Kemarin dua teman kamu sudah masuk kerja. Saya juga yang ajak mereka kenalan sama karyawan lain.”

Aku mengangguk-angguk, lalu menarik tangan. “Iya,” balasku lalu tersenyum, bingung mau berkata apa lagi.

“Kamu anaknya Hamdan Jayadi, ‘kan?” Mas Rahmat menoleh sekilas padaku yang berjalan mengekorinya.

Karena benar aku adalah anak Ayah, maka aku mengangguk meski ia tak melihat. “Iya, Mas. Kenapa?”

“Kenapa memilih bekerja di sini sebagai karyawan biasa daripada bekerja di perusahan ayahmu sendiri?”

Pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan Ayah saat aku menolak tawarannya untuk menjadi pimpinan di perusahaannya. Aku mengusap lengan lalu menjawab, “Karena kalau kerja sama Ayah, saya nggak perlu ijazah. Saya bisa masuk kapan saja saya mau. Tapi saya nggak akan tahu bagaimana rasanya berkenalan sama karyawan-karyawan lain dengan keadaan saya keliling kantor kayak gini.”

“Kamu nggak suka jadi terhormat?”

Lihat selengkapnya