Pagi yang cukup panas setelah upacara setiap Senin, salah satu mata pelajaran jurusanku, APHP—Agribisnis Pengolahan Hasil Pertanian—mengadakan kegiatan praktik. Agenda rutin yang dilaksanakan setiap selesai satu bab teori.
"Jadi, setelah mencicip sampel produk milik kelompok empat, apa yang bisa kalian simpulkan?" Seorang wanita yang mengenakan jas lab putih panjang sampai menutupi lutut dan rok hitam longgar tiga perempat menghampiri meja tempat anggota kelompok dua berkumpul. Termasuk aku.
Dua puluh menit lalu di atas meja alumunium di hadapan kami tersedia enam piring kecil yang masing-masing berisi lima potong sampel. Namun sekarang sampel pada empat piring telah tandas, sedangkan dua piring yang berisi potongan kecil nuget pisang belum tersentuh. Aku yang baru saja hendak mengambil sepotong tertahan oleh pertanyaan Bu Cahya.
"Lembek." Rakna mengemukakan pendapatnya lebih dulu. Gadis itu baru memasukkan sampel dari kelompok enam ke dalam mulutnya semenit lalu dan baru selesai mengunyah. "Dan lengket?" lanjutnya dengan nada bertanya.
"Tekstur dan warnanya sama sekali enggak kayak brownies," terang satu-satunya cowok dalam kelompok ini, "malah mirip jenang atau ... getuk pisang? Tapi enggak buruk." Ia tergelak keras sendirian sehingga suaranya menggema di ruang teaching factory yang luas ini. Tentu saja hal tersebut membuat seisi ruangan langsung memusatkan pandangan ke meja kami.
"Asam khas pisang. Rasa cokelatnya kurang kuat. Raden benar, enggak bisa dibilang brownies. Sepertinya mereka terlalu banyak mencampurkan pisang." Aku meletakkan bolpoin ke meja setelah selesai mengisi tabel uji hedonik dan skoring untuk sampel B milik kelompok empat. "Saranku, jika mereka berencana lebih menonjolkan unsur pisang pada produk, bisa diletakkan sebagai topping. Jadi tidak merusak karakter brownies yang manis dan pahit cokelat.
"Tapi selain itu," aku menggumam sejanak, "apa bedanya sampel A dan sampel B? Keduanya terasa sama." Dua kalimat terakhir aku ucapkan keras dan lantang. Sengaja, supaya kelompok empat pada dengar dan tahu apa kesalahan mereka. Salah sendiri membuatku berulang kali mencecap, menggigit sedikit demi sedikit dan berpikir keras tentang perbedaan dua versi produk ini kalau pada akhirnya tetap tidak ketemu bedanya.
Sebelum ini kami memang diberi tugas membuat satu produk berbahan dasar pisang. Tetapi produk tersebut harus terdiri dari dua versi: A dan B. Selain itu kami juga wajib menyediakan empat piring sampel A dan empat piring B. Tiga piring sampel A dan tiga piring sampel B yang masing-masing berisi delapan potongan kecil akan diberikan ke meja tiga kelompok lain sedangkan sepiring sampel A dan sepiring sampel B yang masing-masing berisi satu potong sampel diberikan kepada Bu Cahya.
Aku tergabung dalam kelompok dua dan kami sepakat membuat pisang ijo. Kami membedakan versi A dan B dari jumlah santan yang ditambahkan pada adonan yang membalut pisang.
Kembali pada saat ini. Di meja paling ujung seorang cowok berdiri dan protes dengan ucapanku. Dia bersikeras kalau dua sampel produknya memiliki perbedaan. Ya ... ada, sih sebenarnya. Tapi itu sama sekali enggak bisa dijadikan pembanding. Sampel A dikasih topping keju dan sampel B tidak. Cuma itu. Kupikir mereka enggak niat mengerjakan tugas praktik kali ini.
Bu Cahya menghentikan perdebatanku dan cowok itu dengan mengatupkan kedua telapak tangannya keras-keras dua kali. "Saya pikir kau belum paham mengenai dua versi produk yang saya maksud, Zak. Tapi tak apa. Jadikan ini sebagai pembelajaran untuk praktik berikutnya," kata Bu Cahya pada lelaki di ujung sana.
Guru mata pelajaran PPHN—Produk Pengolahan Hasil Nabati—tersebut melangkah melewati meja kelompok satu yang berada tepat di depan meja kami, menuju meja guru. Menghadap ke murid-muridnya, Bu Cahya berujar dengan tegas, "Saya ingin kalian membuat power point mengenai praktik hari ini. Isinya hanya empat," jemari telunjuk, tengah, manis dan kelingking diacungkan satu persatu, "latar belakang, proses pembuatan, hasil uji dan kesimpulan."
Seluruh anggota kelas XI APHP 1 terdiam. Tak ada yang bersuara.