Ada sejarah tak tertulis mengenai sekolah ini yang dipercaya oleh setiap warga sekolah baik itu peserta didik, pengajar maupun staf. Hal ini terjadi sejak empat tahun lalu.
Saat itu SMAKTASA–SMK Cipta Karsa–selalu dijadikan pembanding sekolah sebelah, SMATASA–SMA Cipta Karsa. Walaupun senama dan berada dalam satu yayasan yang sama, kedua sekolah tersebut memiliki perbedaan cukup signifikan.
SMATASA adalah sekolah elit. Siswa-siswinya merupakan anak-anak warga menengah atas yang mampu membayar biaya tinggi demi mendapatkan fasilitas memuaskan. Gedungnya tinggi megah, dindingnya dicat putih gading dan lantainya berlapis keramik putih mengkilap. Sistem pembelajaran di sekolah tersebut juga berbeda dari Sekolah Menengah Atas kebanyakan. Selain bagus dari segi akademik, di sana bakat non akademik siswa juga sangat diperhatikan. Bahkan separuh jam pembelajarannya digunakan sebagai kegiatan ekstrakulikuler.
Sedangkan SMAKTASA merupakan sekolah berbasis pertanian yang jauh dari lingkungan pendidikan berkualitas dari segi fisik sekolah maupun sistem pembelajarannya. Kumuh dan hampir setiap hari kacau. Tenaga didik jarang masuk kelas, peraturan yang hanya ada sebagai formalitas dan banyaknya sikap siswa yang bertolak belakang dari moralitas. Perisakan ada hampir di setiap kelas dan kasus berupa tindakan yang melibatkan fisik selalu muncul setiap minggunya. Desas-desus korup dana sekolah merajalela seiring waktu. Hewan-hewan ternak berkurang, sebagian mati, sebagian hilang tanpa jejak.
Kemudian muncul sosok itu.
Print out lembaran HVS tertempel di papan pengumuman pada suatu pagi. Di sana tertulis: "Untuk seluruh warga SMK Cipta Karsa. Saya muncul secara damai dengan maksud memperbaiki, menertibkan dan menegakkan keadilan di tanah SMAKTASA ini menggunakan cara saya. Sekian."
Pesan tersebut sama sekali tak membuat gaduh SMAKTASA. Hanya saja banyak yang membicarakannya, banyak pula yang tak percaya dan hanya menganggap omong kosong.
Namun keadaan segera berubah setelah satu demi satu kasus 'kehilangan' bermunculan. Beberapa kehilangan hanya melibatkan benda-benda kecil yang sepele seperti sepatu, buku paket atau buku tugas. Tetapi ada juga yang cukup serius semisal kartu pelajaran, rapor, KTP, SIM, bahkan ada tenaga didik yang sampai kehilangan pekerjaan. Ketika itulah sebutan Si Pencuri didengungkan.
Bulan demi bulan pun berlalu. Lantas tahun mulai berganti. SMAKTASA sudah tidak identik lagi dengan rusuh dan kekacauan, hanya tersisa sejarah yang terus diceritakan dari mulut ke mulut hingga kini. SMATASA dan SMAKTASA dua tahun terakhir adalah sekolah yang paling bagus se-kabupaten, sudah hampir tak ada bedanya lagi selain basis pendidikan yang dipergunakan.
Ya ... semua berkat Si Pencuri yang sampai saat ini pun keberadaannya masih ada dan masih beroperasi. Setiap kerusakan dan ketidakadilan terjadi di sekolah ini baik kecil maupun besar, pelakunya dapat dipastikan akan kehilangan sesuatu yang berharga.
***
Aku melangkahkan kaki dengan kecepatan konstan ke arah meja Aras yang terletak di deretan paling depan dekat jendela kaca, berhadapan tepat dengan meja guru. Lelaki yang tiga semester lalu menempati posisi juara satu sejurusan angkatanku sibuk merogoh bagian dalam tasnya, menghela napas, mengeluarkan barang-barang, menghela napas, menuang seluruh isi tas dan menghela napas lagi.
Sampai di depan meja lelaki tersebut aku mendeham keras. "Jawab dengan jujur, kau tahu apa salahmu?" tanyaku tegas dengan sorot mata tajam mengarah tepat ke bola mata Aras.
Cowok itu hanya diam. Rautnya biasa saja tapi tindakannya tidak mencerminkan hal itu.
"Jawab dengan jujur, kau tahu apa salahmu?" tanyaku sekali lagi dengan intonasi suara lebih tinggi. Jauh lebih tinggi. "Jawab!" Sambil menggebrak meja.
Seisi kelas hening.
Aku kembali menatap lelaki di hadapanku. Dari wajahnya terlihat bahwa ia sedang khawatir, takut, cemas, tetapi berusaha menyembunyikan dibalik muka temboknya.
"Dengar," aku mengangkat dagu tinggi-tinggi, melihat satu persatu siswa dan siswi kelas XI APHP 1, "aku membuat tata tertib, bersikap tegas kepada kalian dan selalu menekan kalian untuk bersikap baik tidak lain adalah untuk kebaikan kita semua." Sepasang kakiku melangkah ke depan kelas, lurus dengan bangkuku yang berada paling depan di deretan tengah. "Kalian tahu sendiri, selama kita bersikap baik dan adil, Si Pencuri tidak akan mengusik. Dan sekarang, kelas kita dapat satu kasus."
Sekali lagi aku menatap lelaki yang menjadi tokoh utama dalam topik ini. "Aras, jawab dengan jujur, kau tahu apa salahmu?" Tak bosan-bosan aku menanyakan hal yang sama dan dengan nada sama tegasnya seperti tadi.
Aras masih diam. Mulutnya terkatup seolah ada perekat di sana. Ekspresinya berangsur-angsur pulih sebagaimana Aras yang biasanya.
"Aku enggak mengatakan kalau ini ulah Si Pencuri sebab kasus kehilangan bisa terjadi karena tiga hal." Kutatap kembali seisi kelas. "Pertama, karena kecerobohan. Kedua, karena Si Pencuri. Ketiga, karena ada pencuri yang lain. Maka dari itu," sorotku menajam pada lelaki tersebut, menahan geram, cowok ini benar-benar menguras kesabaranku, "untuk memastikan ini bukan ulah Si Pencuri, aku meminta kau Aras, menjawab dengan jujur. Kau tahu apa salahmu?"
Lelaki itu masih saja diam.
Baik, kesabaranku sudah hilang sejak lama dan ditambah dengan sikap Aras yang sangat menyebalkan. "Sepertinya flashdisk kau tidak terlalu berharga, ya. " Aku maju dua langkah ke depan, menumpukan kedua tangan ke bangku. "Anggap saja kasus selesai. Semuanya, ini jam istirahat!"