"Kau harus bicara dengan kelompok empat." Itu yang dikatakan Raden setelah Pak Yas keluar dari kelas. Begitu pelajaran PPHH selesai, cowok itu langsung menghampiri mejaku, berdiri tepat di hadapanku, mengucapkan satu kalimat yang berhasil membuat keningku mengerut seketika. "Ini tentang mengapa mereka mendadak praktik dengan konyol tadi pagi. Padahal Ayesa lumayan pandai memasak, kan?"
Aku tahu kalau dia sedang berusaha menerangkan, namun kalimatnya justru membuatku semakin tak mengerti dengan apa yang ia maksud.
Tetapi sepertinya cowok ini segera paham dengan ekspresi yang aku tunjukkan, makanya ia langsung menjelaskan lebih spesifik. "Walaupun Zaki dan yang lainnya itu termasuk kelompok yang agak—kamu tau lah. Tapi kupikir mereka enggak akan sebodoh itu buat bikin brownies jenang dan membuat perbedaan hanya dengan menambahkan parutan keju di atasnya."
Aku menggumam sejenak. Sedang berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Raden.
Masuk akal, sih. Bahkan sejak kelas sepuluh tak pernah ada kasus main-main dengan kegiatan praktik di kelas ini. Paling-paling cuma kesalahan teknis yang berujung pada kecelakaan kecil. Itu pun tak pernah dilakukan dengan sengaja. Kejadian Zaki dan kelompoknya adalah yang pertama dan paling parah. Aku sempat berpikir ini janggal namun tak memikirkan lebih jauh ketika ingat Aras dan kasus kehilangannya.
Tapi aku benci ada masalah di kelas ini. Apapun bentuknya dan seremeh apapun itu. Karenanya tanpa mengatakan apapun lagi aku bangkit dari tempat duduk, menuju bangku paling belakang, menghampiri Zaki dan Ayesa yang sedang berbincang-bincang. Kejanggalan ini harus selesai sebelum aku mulai melakukan sesuatu terhadap flashdisk Aras.
"Tadi kau jenius! Kalau begini, enggak akan ada acara bikin perencanaan kerja ulang dan berakhir fatal waktu praktik. Kau tahu, pas Bu Ketua bilang kalau produk A dan B kita sama sekali enggak ada bedanya, aku jadi kesal sendiri." Barusan ucapan Zaki. Ia belum menyadari keberadaanku di dekatnya.
Ayesa menanggapi dengan tawa kecil. "Padahal itu salah kau sendiri. Dasar ce-ro-boh!"
"Kok, aku? Jelas-jelas, ya, Jumat kemarin lembaran itu aku taruh di loker bawah meja. Lalu, bum! Setelah kutinggal ke kantin dan aku cek, lenyap. Enggak ada jejaknya. Habis itu kita kelimpungan, asal cari resep di internet dan jadilah brownies rasa getuk pisang." Cowok itu berbicara dengan sangat ekspresif. Gerakan tangan yang aktif dan intonasinya yang beragam menjadikan ceritanya seolah hidup.
"Sepertinya kau cocok main drama, Zak," ucapku sembari melipat tangan ke depan dada. Baik Zaki maupun Ayesa langsung menoleh, raut wajah mereka pun berubah dari santai menjadi sedikit kaget dan bertanya-tanya. "Tadinya aku ingin menanyakan beberapa hal, tapi berhubung Zaki sudah mengatakannya, jadi tidak perlu lagi. Tapi," aku diam sebentar, menatap lekat-lekat keduanya, "aku ingin berdiskusi dengan kalian setelah ini. Ikut aku ke masjid, sholat dhuhur dulu, lalu kita bicara."
Zaki dan Ayesa saling pandang dengan ekspresi yang sama sekali tak bisa aku mengerti. Namun begitu keduanya mengangguk, aku segera membalikkan badan, jalan lebih dulu keluar kelas.
Saat ini koridor sedang ramai-ramainya. Banyak yang berlalu-lalang baik ke arah kantin maupun masjid. Azan dhuhur yang menggema seantero SMAKTASA mengiringi langkahku dan dua muda-mudi yang mengekor di belakangku. Bahkan di tengah kerasnya suara azan mereka tetap asyik bercakap-cakap dan sesekali tertawa.
Kedua indra pengelihatanku berotasi setelah melirik mereka lewat ujung mata.
Sampai di depan masjid, keduanya yang melangkah di belakangku saling berpisah. Ayesa bergabung denganku kemudian kami bersama-sama menuju tempat wudhu yang dekat dengan tempat sholat perempuan. Sedangkan Zaki ke arah tempat para cowok.
"Bu Ketua marah sama kami?" tanya Ayesa tiba-tiba ketika kami selesai berwudhu dan aku hendak mengurai lengan kemeja putih yang sebelumnya aku gulung sampai atas siku.
Namun pertanyaannya tak kujawab dan langsung melenggang masuk ke dalam masjid sambil memakai kembali jas almamaterku. Mengambil mukena dari dalam lemari lalu mengenakannya.
Tak sampai lima belas menit aku selesai. Disusul Ayesa kemudian. Lantas kami berdua menuju teras masjid yang luas. Terlihat beberapa meter dari tempat kami, Zaki duduk di tepi teras masjid. Aku dan Ayesa menghampirinya. Gadis itu menepuk pelan pundak Zaki kemudian duduk di dekatnya. Aku menyusul duduk di sebelahnya.
Cowok itu memutar badan, menghadap ke arahku. Kami duduk saling berhadapan, membentuk lingkaran kecil.
Beberapa menit hening sebelum aku mendeham keras. "Jadi, apa kehilangan kalian ada hubungannya dengan Si Pencuri? Atau murni kecerobohan?" tanyaku to the point.
Ayesa dan Zaki saling lirik. Sedari tadi kuperhatikan dua sejoli itu suka sekali berpandangan sebelum salah satu dari keduanya berbicara. Seolah kegiatan saling pandang mereka sama dengan diskusi singkat untuk menentukan apa yang harus dan tidak mereka katakan.
"Aku enggak yakin." Zaki buka suara. "Kita enggak ada bikin masalah, ya, kan, Ay? Anggota yang lain juga enggak. Tapi bukannya enggak pernah ada kasus Si Pencuri mengusik hal-hal yang menyangkut beberapa orang atau kelompok? Yang dicurinya selalu milik pribadi."
Ayesa cuma menanggapi ucapan Zaki dengan anggukan singkatnya.
"Berarti ada pencuri yang lain." Aku menggumam pelan, lantas menatap Zaki lagi. "Waktu kau ke kantin Jumat lalu, ada orang di kelas? Enggak mungkin lembar perencanaan kerja itu tertiup angin. Kau jelas-jelas meletakkannya di loker."
Gadis yang rambutnya dikepang satu tersebut memiringkan kepalanya sedikit. "Maksudnya, Bu Ketua mengira lembaran punya kita diambil oleh seseorang dan bukan Si Pencuri? Bukankah di sini setiap ketidakadilan akan berbalas? Memangnya dia tidak takut?"
Mendengar dua pertanyaan terakhir yang diucapkan Ayesa aku jadi ingat kalimat yang selalu didengung-dengungkan anggota OSIS saat MPLS–Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah–kepada para adik kelas. Berbunyi, "Di sini segala bentuk ketidakadilan akan berbalas. Yang menyakiti akan tersakiti, yang mengambil tanpa izin akan kehilangan, yang merugikan orang lain akan mengalami kerugian. Percaya atau tidak, kami adalah saksi hidup atas kebenaran sejarah yang telah begitu banyak mengubah SMAKTASA."
Di sini aku fokus pada kalimat 'yang mengambil tanpa izin akan kehilangan'. Keberadaan Si Pencuri tak perlu diragukan lagi. Selama empat tahun, selalu ada korban. Sudah cukup jadi bukti bahwa Si Pencuri bukan fantasi belaka. Semua korbannya merupakan sosok bersalah yang tidak berpegang pada keadilan. Aku tak perlu mengatakannya pada mereka berdua.