Sepasang mataku sudah dua kali menyusuri area parkir siswa SMAKTASA tetapi sosok yang kucari tak kunjung tampak batang hidungnya. Pesan yang lima menit lalu kukirim padanya pun tak juga menunjukkan tanda-tanda telah dibaca, masih menampilkan dua centang abu-abu.
Langit telah menjingga sejak beberapa menit lalu. Matahari di sisi barat tidak lagi berbentuk bulat sempurna dan aku masih harus menunggu jemputan datang, duduk seorang diri di bangku panjang tepi parkiran luas yang hanya diisi dua sepeda motor di dua titik berjauhan.
Telepon pintarku bergetar setelah itu. Ada satu pesan dari Diksa.
Aku sudah di sekolah dan melihatmu.
Setelah membacanya, kutengok sekeliling sekali lagi. Cowok itu sama sekali enggak kelihatan. Maka dari itu jemariku mendekati touchscreen telepon pintar dan mengetikkan beberapa kata. Namun belum selesai mengetik, dari arah belakang terdengar suara lelaki.
"Bukankah petunjuknya sudah cukup jelas? Aku sudah di sekolah dan melihatmu. Kalau di depan tidak ada, maka—"
"Ini bukan waktu yang tepat untuk bermain tebak-tebakan." Aku langsung berdiri dan membalikkan badan.
Lelaki di hadapanku yang mengenakan kaos abu-abu dan jins hitam menyunggingkan senyum canggung. Sebelah tangannya diangkat dan di arahkan ke belakang kepala kemudian membuat gerakan menggaruk. "Baiklah," katanya, lalu ganti bertanya, "Langsung pulang?"
"Ya, kecuali kau sedang ingin lari malam-malam dari ujung ke ujung gang bolak-balik." Aku menjawab dengan ketus. Lantas berbalik lagi, memincingkan mata ke arah dua sepeda motor bergantian.
Di area parkir paling ujung dekat gerbang, kutemukan sepeda motor matic hijau milik Diksa. Aku memutuskan melangkah ke sana tanpa berkata apa-apa pada lelaki yang telah menjemputku, naik ke atas jok motornya, ingin menghidupkan mesin tetapi baru ingat aku tak membawa kunci.
"Ayo!" Cowok itu datang tak lama kemudian. Melangkah pelan sambil melempar tangkap kunci motornya, duduk di jok belakang kemudian mencondongkan badan hingga dadanya menempel pada punggungku. Lantas mengulurkan tangan, menancapkan kontak ke lubang kunci sekaligus memutarnya dan menstater sampai kendaraan tersebut menyala.
Gila saja cowok itu berencana mengemudi dengan posisi seperti ini. Yang ada aku dan dia bisa kecelakaan bersama-sama. Maka dari itu berikutnya aku menepis tangannya yang masih menggenggam stang dan mengambil alih kemudi. Lantas memundurkan sepeda motor sedikit dan mulai memutar gas, keluar gerbang sekolah, menuju jalan raya.
Meskipun lancar dan tidak ada macet, jalanan cukup ramai di sore hari. Mayoritas diisi oleh kendaraan roda dua. Warung-warung tepi jalan mulai menyalakan lampu. Ada beberapa yang hendak dibuka, ada yang sudah ramai oleh pembeli, ada pula pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai macam lauk dan kudapan. Semua kegiatan di waktu petang berlangsung di bawah langit jingga.
Lima belas menit aku dan Diksa sampai di depan rumah minimalis di salah satu perumahan. Kami beruntung sebab ketika memarkirkan sepeda motor di halaman, azan magrib belum berkumandang. Walaupun dua menit setelahnya cek-sound masjid terdengar yang kemudian diikuti seruan azan.
"Baru pulang?" Di depan pintu Ayah melipat tangan ke depan dada. Kegiatan yang hampir beliau lakukan setiap hari, menanyaiku dan Diksa jika baru saja pulang maghrib-maghrib begini. Ralat, setiap kami tampak baru saja keluar dan berkeliaran, Ayah selalu menanyakan destinasi yang kami kunjungi. "Enggak ke mana-mana selain dari sekolah, kan?" tanya beliau memastikan.
Langsung kujawab "ya" yang dibalas anggukan oleh Ayah.
"Segera mandi lalu menyusul ke masjid." Ayah beralih pada Diksa.
Adik lelakiku tersebut cuma mengangguk singkat sebelum melenggang masuk ke dalam rumah.
"Sari," aku yang merasa terpanggil menoleh, "sebenarnya Ayah tidak suka melihat kau pulang terlalu sore," lelaki yang lebih tua dua puluh empat tahun dariku tersebut mengulum senyum tipis dan meletakkan telapak tangan besarnya di puncak kepalaku, "tapi tidak bisa, ya?" sambil mengelus pelan di sana.
Aku menghembuskan napas panjang lantas menggeleng perlahan. "Ayah yang mengajariku tentang bersikap tegas dan patuh terhadap peraturan. Selama aku tidak melanggar peraturan Ayah, tidak masalah, kan?" Dua kalimat tersebut kuucapkan tanpa dinamika sebelum kemudian pamit ke dalam.
Tidak. Aku bukan pembantah yang tak suka sikap Ayah atau peraturan-peraturan yang beliau tetapkan di rumah. Sebaliknya aku justru setuju dengan apa yang selama ini Ayah ajarkan kepadaku. Maka dari itu di tempat lain—sekolah—aku ingin ikut andil dalam menegakkan dan memastikan setiap orang mematuhi peraturan yang ada. Dengan menjadi ketua kelas yang bertanggung jawab salah satunya.
Dan lagi, aku sungguh-sungguh tak sedang melanggar peraturan. Jam pulang yang Ayah tetapkan kepadaku dan Diksa paling sore sebelum azan maghrib. Dua menit sebelum azan masih belum terhitung terlambat.
***
Tak ada yang perlu dikhawatirkan waktu pagi hari. Bahkan sejak subuh rumah minimalis hasil kerja keras Ayah sudah hidup, seluruh yang bermukim telah bangun dari mimpi dan mulai beraktivitas.