"Tetap enggak bisa, Hap." Begitu jawaban Raden ketika aku menyatakan dugaanku. "Masih terlalu samar untuk menjadi bukti. Waktu lempar-lemparan kertas sama Delima, aku juga enggak berhasil membuat gadis itu menuliskan kebohongan yang bisa dijadikan tembakan balik."
Kali ini kami sedang berbicara di kelas. Seperti sebelumnya, aku di bangkuku sendiri sambil menghabiskan bekal sedangkan Raden duduk di bangku Rakna, menunggu makanannya datang. Cowok itu suka sekali titip makanan kantin pada yang lain. Malas keluar katanya.
"Gadis itu," Raden tampak berpikir, sebelah tangannya menopang dagu yang seketika mengingatkanku pada cowok juara satu, "kayak berpengalaman banget soal menyembunyikan fakta. Bikin aku ingat sama novel seri Misteri Pangeran dan Penyihir saja." Ia mengembuskan napas perlahan.
Itu cuma fiksi, kan? ucapku dalam hati sambil merotasikan bola mata.
"Tapi enggak tahu kenapa aku curiga banget sama cewek itu. Dari awal sikapnya bikin aku penasaran. Dan dia juga jadi lebih diam dari biasanya." Raden melanjutkan ucapannya. "Kalau kau, Hap?"
Langsung kujawab gelengan lemah.
Sungguh, aku agak enggak paham dengan jalan pikir wakilku ini. Bodohnya, kemarin aku terlalu fokus pada Aras dan enggak memperhatikan yang lain. Jadi merasa beruntung punya wakil cowok ini. Dia jeli. Sangat berguna dalam keadaan seperti ini. Walau terkadang tingkah rusuhnya hampir menyamai Zaki.
Tiba-tiba aku jadi tertarik membaca ulang gumpalan kertas yang kusita dari Raden dan Delima kemarin. Maka dari itu setelah menelan suapan terakhir dan membereskan perlengkapan makan, kukeluarkan lagi tiga kertas kucel yang sudah kulipat tersebut dari dalam tas. Lantas mulai membaca salah satunya.
Kau yang mengambil lembar perencanaan kerja kelompok empat, kan?
Daripada tulisan, satu kalimat tanya tersebut lebih mirip cakar ayam. Berantakan sekali. Yakin banget kalau itu tulisan Raden.
Di bawah tulisan Raden tertera kalimat yang ditulis dengan pensil. Huruf-hurufnya tampak tebal dan tidak seburuk tulisan Raden.
Hah? Aku baru tahu kalau mereka kehilangan tugas itu.
Berikutnya kembali diisi oleh tulisan tangan cowok di sebelahku.
Aku enggak percaya. Kau tahu sesuatu, kan?
Delima membalas.
Suer, enggak.
Dalam kertas kedua Raden menulis lagi.
Kau punya alibi?
Pak Wakil Ketua, aku pikir kau sudah teracuni parah oleh virus gila analisis. Kau mau main jadi detektif? Baiklah. Apa kau juga punya bukti?
Aku membaca bagian ini sambil tertawa dalam hati. Kalau begini, jadi Raden yang di-skakmat Delima.
Sebentar, kalau dipikir, ada sedikit petunjuk di sini.
"Kau sempat memperhatikan ekspresi dia sewaktu menulis ini?" tanyaku.
Cowok itu memiringkan kepalanya ke kanan sedikit sambil menggumam panjang. "Saat aku ngasih kertas pertama, dia agak kesal, sih. Sepenglihatanku kayak ngomong ... kalau enggak 'cih', ya 'sial'. Karena itu juga aku berani bilang kalau dia tersangkanya. Sayang banget, enggak ada bukti kalau dia memang benar-benar kesal sama pertanyaan yang aku ajukan."
"Kalau ternyata ada, apa kita bisa menetapkan dia pelakunya?"
"Bisa. Soalnya kalau memang bukan dia pelakunya, dia bakal santai aja atau paling bertanya-tanya waktu aku tuduh. Tapi, kan buktinya enggak—"
"Ada, kok." Aku memotong cepat ucapan Raden sebelum cowok itu menjadi semakin cerewet. Kemudian menunjukkan kertas pertama, meletakkan jari telunjuk ke tulisan tangan Delima. "Kalau diperhatikan, ini bisa jadi bukti kalau dia membalas tulisanmu dengan kesal." Aku menerangkan. Lalu membalik kertas tersebut. "Di sini ada tonjolan akibat tekanan kuat dari ujung pensil."
Tanpa berkata apapun cowok itu merampas kertas kucel tersebut dariku untuk mengeceknya sendiri.
"Kalau dilihat, tulisannya juga tebal banget. Kalau dia enggak kesal, pasti nulisnya juga santai, pakai garis tipis, bukan ditekan kuat-kuat seperti itu," ucapku lagi sambil menyandarkan punggung ke kursi dan melipat tangan ke dada.
Selesai mengamati kertas itu, Raden menegakkan kepalanya. Namun baru saja membuka mulut dan belum sempat bersuara, seruan dari sebelah kiriku terdengar, membuatku langsung mengalihkan atensi pada pemilik suara.
"Bu Ketua, lembar perencanaan kerja kami ada lagi di loker meja Zaki." Suara lembut tersebut berasal dari gadis yang rambutnya dikepang satu dan selalu menempel pada cowok gamer itu. "Barusan kulihat ada di situ. Enggak tahu dari kapan," lanjutnya.
Sebelah alisku terangkat sebelum kemudian berdiri dan mengikuti Ayesa menuju bangku Zaki.