Limit: Rahasia Si Pencuri

Syafira Muna
Chapter #7

Petunjuk, Tersangka dan Bahaya

Di antara prosedur dalam menemukan alur pencurian seseorang, salah satunya adalah dengan mengamati tempat kejadian perkara dan mencari petunjuk di sana.

Dalam hal ini, informasi lengkap merupakan kebutuhan utama. Beruntungnya, berkat kehadiran Si Pencuri, sekolah ini sangat terbuka dalam pemberian informasi dan data umum.

Jadwal pelajaran dan praktik setiap kelas, jadwal piket siswa di kelas maupun di ruangan praktik, data keluar masuk UKS atau ruang fasilitas umum lain di sekolah, data staf yang jaga di lokasi parkir atau bertugas membersihkan lingkungan sekolah, absen siswa dan guru yang hadir di sekolah, semua itu dapat ditemukan di ruangan khusus informasi.

Rakna dan dua teman sederet di belakangnya yang bertugas mengumpulkan informasi baru saja kembali dan menyerahkan catatan mereka padaku. Sederet data tentang kelas-kelas yang juga keluar untuk praktik di jam yang sama dengan praktik PPHN kemarin sudah ada di tangan.

Hasilnya, kelas X ATR 2 di kandang domba, XI ATR 1 di kandang sapi, XI ATU 3 di kandang ayam petelur, X ATPH 3 di greenhouse, XII ATPH 1 di greenhouse hidroponik dan X APHP 2 di ruang teaching factory dua.

Dedak halus itu merupakan pakan ayam petelur. Artinya seseorang dari kelas XI ATU 3 yang membawanya kemari. Berarti, Vickry dan yang lain enggak akan dapat informasi tentang orang yang lewat di koridor kalau mereka semua sedang ada di kandang saat itu.

"Bu Ketua!" Seseorang yang baru saja masuk kelas memanggil. "Ada yang masuk ke sini saat praktik kemarin," lapor Seruni, gadis yang poni kanannya selalu dipasangi jepit rambut. Ia merupakan siswi yang tempat duduknya tepat di belakang Vickry. "Wildan, anak kelas sebelah ngaku salah masuk kelas waktu itu."

Aku menatap gadis tersebut dengan seringai miring. Rupanya dugaanku melenceng. Mereka tak hanya mendapat informasi, malah dapat satu tersangka. 

"Ia kabur dari kandang setelah piket memberi makan ayam. Bermaksud bolos jam pelajaran. Tapi karena terburu-buru, ia tak sadar telah memasuki kelas yang salah." Di belakang gadis tadi, Vickry menyusul dan menambahkan. "Ekspresinya benar-benar tak merasa bersalah. Ketika ditanya, ia langsung menjawab begitu saja seolah tanpa berpikir."

Aku mengangguk mendengar penjelasan lelaki itu. "Ada informasi lain?" tanyaku kemudian.

Vickry dan Seruni menggeleng hampir bersamaan. Aku meminta mereka duduk di bangku masing-masing karena sebentar lagi pelajaran terakhir akan dimulai. Lantas merogoh kantung kanan jasku, mengeluarkan telepon pintar kemudian mengirim pesan ke grup chat kelas yang isinya perintah untuk segera masuk kelas sebelum pukul satu karena guru matematika akan datang tepat waktu.

Tak perlu menunggu lama sampai anggota kelas kembali lengkap. Sepuluh menit sebelum berakhirnya jam istirahat, semua telah masuk kelas meskipun masih ada yang makan camilan maupun saling bicara satu sama lain.

Aku yang setelah dari masjid hanya duduk, menyempatkan melihat ke bangku dekat jendela. Delima tampak muram. Acap kali Aras berceloteh untuk membuat gadis itu membuka mulutnya dan tertawa. Namun seolah sesuatu yang kelam menyelimutinya. Gadis tersebut hanya menanggapi Aras dengan anggukan atau gelengan dan sesekali senyum kecil.

"Jangan pikir aku tak menyadarinya." Suara di sebelah kananku membuatku menoleh seketika. Perempuan itu memiringkan kepalanya ke kanan sehingga membuat rambut yang dikuncirnya ke belakang tersebut bergerak. "Dari tadi Bu Ketua selalu memperhatikan interaksi Aras dengan Delima." Senyum jahil terukir di kedua sudut bibirnya.

Tak menjawab dengan kata. Aku cuma meresponsnya dengan kedipan kedua mata dan tatapan bertanya.

Rakna menggelengkan kepalanya kanan kiri satu kali disertai decakan. "Bu Ketua itu pandai akademik, pandai memimpin, pandai mengendalikan kericuhan, pandai menghentikan keributan, pandai memecahkan masalah, pandai menengahi orang-orang yang berselisih," jemari di tangan kanan yang sebelumnya mengepal ia keluarkan satu persatu dari jempol kanan sampai kelingking ditambah jempol kiri lagi, "cuma kurang satu hal," ia melanjutkan, lalu setelah memajukan kepalanya ke arahku ia berbisik, "kurang pandai memahami perasaan."

Setelah mengatakannya, gadis tersebut tergelak keras. Dalam hati aku menggerutu, Sial, dia menertawakanku.

Tapi kenyataannya, hanya diam dan tetap berekspresi netral seolah ucapan Rakna sama sekali tak berpengaruh untukku.

"Aras itu memang menarik." Rakna kembali menegakkan tubuhnya dan menghadap ke papan tulis. "Udah pintar banget, mukanya juga ganteng. Datar gitu aja ganteng, apalagi kalau senyum, ya?" Gadis itu mengatakannya sambil senyum-senyum sendiri. "Sayangnya, senyum Aras cuma buat Delima seorang." Perempuan itu tertawa keras lagi. Entah apa yang dia tertawakan.

Serius, aku sama sekali tak paham pembicaraannya akan di bawa ke mana.

"Nah, sekarang kutebak, nih Aras versi sudut pandang Bu Ketua." Rakna menoleh padaku lagi. Ia menggumam sejenak sebelum berbicara. Rautnya berubah sok serius. "Aras itu cowok pandai saingannya Bu Ketua. Terus dia juga satu-satunya orang yang bisa tetep santuy walaupun Bu Ketua lagi marah-marah. Gimana? Bener enggak?" tanyanya antusias.

Lihat selengkapnya