Limit: Rahasia Si Pencuri

Syafira Muna
Chapter #8

Es Krim Oreo

Pria tiga puluh dua tahun berjongkok bertumpu dengan satu kaki, menyejajarkan tinggi dengan gadis kecil di hadapannya. Senyum lembut pria tersebut terpatri dengan manis di kedua sudut bibirnya. Tatapannya teduh dan penuh sayang. Tangan kanannya ia letakkan di pundak kiri gadis itu. Sambil mengelus pelan di sana, ia bertanya pelan, "Sari tahu peraturannya, kan?"

Gadis yang masih memakai kemeja putih dan rok lipit merah bawah lutut mengangguk pelan. Dengan berani, ia menatap sosok di hadapan dengan mata bulatnya. "Tahu," jawabnya, "tidak ada televisi untuk anak yang remidial. Tapi, itu, kan cuma ulangan harian, Yah." Tangan mungilnya menunjuk lembaran yang dipegang sang ayah di tangan kiri.

Pria tersebut mengulum senyumnya lebih lebar. "Ulangan, tetap ulangan, Sari. Dan peraturan tetaplah peraturan. Segala bentuk pelanggaran harus ditebus dengan...?" tanya pria itu dengan sabar.

"Hukuman," sambung gadis tadi. Wajah beraninya tak menciut meski ucapannya sudah pasti menyakitkan.

Bagi seorang gadis kecil yang bulan lalu baru saja berulang tahun yang ke delapan, dan tanpa pesta, hukuman merupakan sesuatu yang mengerikan. Namun puluhan kali mengalaminya membuat ia lebih dari mahir dalam hal menyembunyikan rasa takut itu.

"Pintar," puji sang ayah. Tangan kanannya dipindahkan ke puncak kepala gadis tersebut. "Sekarang, Sari tahu apa yang harus dilakukan?"

Gadis itu menjawab dengan anggukan satu kali sebelum langkah kecil nan lincah membawanya ke luar pintu rumah. Lantas sambil menggerutu kesal dalam hati, gadis tersebut mengambil posisi start jongkok kemudian melakukan sprint sampai ujung gang.

Sepanjang ia berlari, kedua tangannya tak berhenti mengepal kuat. Menahan geram dan marah. Peraturan itu sangat menyebalkan!

"Sudah?" Tepukan di pundak dan sapaan seorang lelaki membuyarkan lamunanku. Sontak aku menoleh, memastikan kembali yoghurt di hadapanku benar-benar yang kucari, mengambil satu cup lalu menuju kasir diikuti lelaki tadi.

Selesai membayar, aku segera mendekati pintu keluar dan mendorongnya. Tetapi sampai di depan sepeda motor Diksa, aku baru sadar kalau cowok itu tak lagi mengikutiku. Bahkan ketika kutengok ia baru saja keluar minimarket dengan kantong plastik di tangannya.

Bukan menghampiriku, ia malah mendekati meja dan sepasang kursi panjang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku menyusul, duduk berhadapan dengannya ketika lelaki tersebut mengeluarkan se-cup besar es krim oreo dari dalam plastik.

Ia meletakkan sendok kayu di dekatku kemudian mengeluarkan sendok kayu miliknya dari plastik. "Harusnya beli ginian enggak dapat sendok. Tapi tadi aku minta ke Mbak kasir, eh, dikasih," lalu membuka tutup cup es krim lalu mulai mengeruk sesendok penuh sampai menggunung. Segera saja mulutnya penuh oleh krim putih dingin campur biskuit hitam yang telah dihancurkan kasar.

Diksa mendorong pelan cup es krimnya. Menunjukku dan cup tersebut dengan ujung sendoknya bergantian sebelum mengambil sesuap lagi.

Aku memincingkan mata padanya. "Menurut peraturan Ayah, tidak ada es krim untuk siapapun kecuali hari Ming—" Ucapanku berhenti tepat setelah sesuatu yang lembut dan dingin menjejal ke dalam mulut. Memaksaku untuk mencecap dan melumatnya sebentar sebelum menelan.

"Itu peraturan waktu kita kecil, Kak. Itu juga peraturan yang paling sering kulanggar. Jangan kaku-kaku amat, lah. Lagipula, kalau sekarang masih berlaku, enggak mungkin Ayah tahu kita lagi makan es krim di sini." Cowok itu memasukkan sesendok es krim lagi ke dalam mulutnya, melumat pelan kemudian menelan. "Kecuali kalau kau melapor pada Ayah." Dan menunjukku lagi dengan sendoknya.

Lihat selengkapnya