"Jadi, bisa jelaskan kronologinya?" Aku bertanya pada cowok di hadapanku.
Saat ini aku sedang ada di kelas sebelah, tepatnya di XI ATU 3, kelasnya cowok yang kemarin mengaku enggak sengaja salah masuk kelas. Datang sendiri, enggak sama Raden. Cowok wakilku itu lagi mengerjakan hukumannya gara-gara mangkir waktu praktik tadi. Aku memintanya menggantikan Adena yang merupakan sekertaris XI APHP 1 merekap absensi kelas bulan lalu untuk diserahkan kepada Pak Yas besok pagi.
Kembali ke topik. "Jelaskan sejelas-jelasnya dan selengkap-lengkapnya," ucapku lagi, melipat tangan ke depan dada.
Cowok yang rambutnya punya jambul kemerahan itu membuang napas kasar. Kalau saja aku menjadi ketua kelasnya, sudah pasti jambul itu habis di tanganku. Sayang sekali meski kesal, aku tak bisa melakukan apapun pada rambut merah itu. Atau, seandainya Si Pencuri juga bergerak dalam menangani masalah kedisiplinan, ia pasti sudah jera. Sayangnya tidak.
"Sudah kubilang aku cuma salah masuk kelas! Antek-antekmu sudah menanyakannya kemarin! Kurang apalagi?" Cowok itu terlihat kesal.
Wajah muaknya yang ditunjukkan terang-terangan, membuatku sedikit curiga. Dari caranya berbicara aku menduga pasti ada yang salah di sini. Untuk pertanyaan umum seperti ini, seharusnya ia tak perlu berusaha menghindar.
"Yang kuminta adalah kronologi, bukan alasan kau masuk kelasku." Aku menatapnya datar. Berusaha tak menunjukkan kecurigaanku padanya. Sebisa mungkin aku harus terlihat seperti orang yang sedang mencari petunjuk namun belum mengetahui apapun. "Kronologi ini aku perlukan untuk misi pencarian barang hilang."
"Jadi, kau menuduhku?" Raut muka lelaki tersebut semakin ganas. Rahangnya mengeras, kepalan tangan di samping badannya pun menguat. "Semua orang tahu kalau ada kehilangan, itu berarti ulah Si Pencuri! Kalaupun bukan dia, pelakunya pasti sudah mendapat balasan! Lalu apalagi yang kau cari?"
Hampir saja dia mendorongku. Aku memang enggak akan kuat menahannya, makanya aku menghindar supaya tak kena.
Murid-murid di kelas ini terkejut. Terutama dua siswi di pojokan kelas yang sebelumnya tampak berbincang dengan beberapa cowok. Sungguh, aku benci orang seperti dia. Emosinya enggak stabil dan mudah meledak-ledak. Sama sekali bukan lelaki baik. Walaupun aku sendiri kasar, tapi tindakannya terhadap perempuan benar-benar tidak terpuji. Bahkan aku yang cewek enggak pernah main fisik dengan sesama perempuan.
"Aku enggak bilang kau pencurinya. Aku cuma mau kau menjelaskan kronologinya. Apakah permintaanku menyalahi aturan?" Aku tetap berupaya santai, enggak tegang dan menghadapinya dengan tenang. Berinteraksi dengan cowok temperamen yang kata Vickry namanya Wildan ini, harus dengan kepala dingin. Enggak boleh kepancing emosi apalagi membalas ucapannya dengan nada tinggi.
Tapi tunggu. Kemarin Vickry bilang kalau Wildan menjawab pertanyaannya tanpa perasaan bersalah bahkan seolah tanpa berpikir. Betulan enggak, sih?
"Aku cuma mau bolos praktik di kelas tapi salah masuk! Udah, gak ada penjelasan lain!" Kepalan tangan kanan lelaki itu dipukulkan ke meja kemudian mengatupkan mulut rapat-rapat. Hendak beranjak tapi segera kucekal pergelangan tangannya.
Aku menatapnya dengan sorot dingin.
"Kemarin setelah petugas piket membersihkan kelas, aku menemukan dedak halus terkumpul di antara debu dan sampah. Jumlahmya memang sedikit, tapi menurutku mustahil hanya dibawa oleh sepasang sepatu secara kebetulan atau tidak sengaja. Kemungkinan besar berasal dari pakaian yang kau kenakan atau ... ada orang lain."
Air mukanya berubah pias. "A-apa yang sedang kau bicarakan? Aku sama sekali tidak mengerti!"
Dalam hati aku menertawakannya.
"Yang aku bicarakan adalah fakta. Kalau kau mengelak, aku punya dua puluh sembilan saksi yang akan membenarkan ucapanku." Nada bicaraku masih tak berdinamika. "Jadi, apa yang telah kau lakukan di kelasku?"
Tanpa gentar sedikitpun, aku memajukan kepala ke arahnya dan menyipitkan mata, bermaksud mengintimidasi.