Limit: Rahasia Si Pencuri

Syafira Muna
Chapter #11

Yang Terbaik Di Antara Yang Baik

Sebenarnya, meskipun SMAKTASA sudah setara dengan SMATASA yang merupakan sekolah favorit di kabupaten, tapi tetap saja tak sempurna. Secara kualitas lingkungan, SMAKTASA memang aman. Minim kecurangan, keadilan berdiri tegak dan perisakan punah total. Namun selalu ada yang terpandai di antara yang pandai, selalu ada yang terbaik di antara yang baik, itu pasti.

Dalam ruang lingkup kelas, SMAKTASA punya satu yang paling top. Kelas dengan problematika siswa paling minim, paling kompak dalam kedisiplinan dan punya nilai rata-rata kelas paling tinggi sejurusan, seangkatan, se-sekolah tahun ini dan tahun lalu, bahkan sepanjang sejarah berdirinya SMAKTASA.

Sembilan puluh dua. Kurang gila apa? Jadi siswa terbodoh di kelas tersebut tak akan punya nilai di bawah delapan puluh di rapornya.

Tetapi menjadi kelas terbaik di SMAKTASA bukan tanpa pengorbanan. Semua anggota merasakan neraka sebelum kelas tersebut dinobatkan sebagai surganya SMAKTASA setelah enam bulan bersekolah. Damai dan tenteram menurut penglihatan orang-orang. Ya, mereka yang di luar sana tak pernah tahu keributan macam apa yang pernah meledak di kelas tersebut. Contohnya, seperti hari itu.

"Enggak ada yang boleh melanggar peraturan atau membantahku!"

Brak!

Kepalan tangan kananku memukul permukaan papan tulis dengan keras. Papan tulis yang sama dengan yang kujebol sisi kanannya dengan tinjuku kemarin saat meredam paksa keributan Zaki dan Delima.

Pagi tadi Ayah baru saja membayar kerugian akibat papan jebol dan aku juga mendapat sangsi tambahan dari konseling. Papan tulis baru belum datang. Jadi seharian ini kelas X APHP 1 terpaksa belajar dengan papan tulis berlubang.

Tapi belum kelar urusan dengan papan itu salah seorang siswi sudah membuat masalah baru dengan memancing amarahku.

Perempuan itu memainkan telepon pintar ketika guru sedang menerangkan. Tak ketahuan guru mata pelajaran tersebut, tetapi ketahuan olehku. Sepasang mataku sempat menangkap jemari gadis itu menyusuri touchscreen telepon pintar di bawah mejanya, tampak sedang mengetik. Sepertinya chatting.

Aku memang tak menegur atau melakukan apapun hingga pelajaran berakhir. Namun setelah guru mengucap salam penutup dan meninggalkan kelas, aku memulai pengadilan kelas dengan gebrakan tadi.

"Peraturannya adalah tidak ada yang memainkan telepon pintar kecuali darurat atau diizinkan oleh guru! Kau masih tak mengerti?!" Aku menatap gadis yang menjadi sasaranku dengan nyalang. 

Sialnya, gadis yang duduk tepat di bangku sebelahku tersebut menyeringai berani. Tak mau kalah begitu saja, ia menjawab lantang, "Cuma soal telepon pintar saja dibesar-besarkan! Lagian, aku enggak ketahuan guru!"

Lihat selengkapnya