Kelas sepi. Hanya tersisa aku dan cowok juara satu. Kami sedang menaikkan kursi ke atas meja. Rutinitasku sejak dapat posisi sebagai ketua kelas dan mendadak jadi kegiatan Aras mulai kemarin serta hari ini. Entah kalau besok. Aku tak banyak berharap. Sudah untung pekerjaanku hari ini jadi ringan. Dua banding tiga sebab Aras bisa mengangkat lebih banyak dan lebih cepat dariku. Mungkin karena dia laki-laki.
"Mustahil mendadak kau mau mengantarku pulang, kan? Jadi, mau ke mana?" Aku bertanya setelah berhasil mengangkat bangku ketiga pada deretan terakhir yang tersisa. "Ayahku menetapkan batas waktu ada di luar sampai sebelum magrib. Sebelum azan harus sudah kembali ke rumah dan aku enggak boleh melanggar." Lalu bergeser. Menaikkan bangku Rakna.
"Itu enggak akan terjadi karena aku enggak berniat membawamu lama-lama." Terdengar suara permukaan kursi dan meja beradu.
Aku bergeser ke bangku Vickry. "Baguslah." Dan menjawab tanpa menoleh.
Tangan kananku bergegas meraih kaki kursi bagian belakang sedangkan tangan kiri memegang bagian atas sandaran tapi seketika rasanya seperti ada sesuatu yang menyengat ketika kurasakan ada jemari lain di bawah jari-jariku.
Seketika aku menegakkan badan dan kepala. Sialnya, hal yang sama terjadi juga pada Aras sehingga sepasang netra kami saling bertubrukan dengan telapak tangan yang juga saling bertumpuk.
Hal tersebut berlangsung selama dua detik, setelahnya aku menarik tangan dan buang muka, memutus kontak lebih dulu. Lalu bergerak mundur, membiarkan cowok juara satu tersebut mengangkat kursi terakhir.
Sebagai gantinya kuambil tas sekolah yang sebelum memulai kegiatan menaikkan kursi tadi aku letakkan di meja guru, lantas menyandangnya di kedua pundak. Milik Aras kuambil sekalian dan memberikannya setelah lelaki itu selesai.
Ia keluar duluan. Aku menyusul, mengunci pintu lebih dulu kemudian lanjut jalan. Berjarak sekitar lima langkah dari Aras. Tapi kayaknya, entah apakah cuma perasaanku saja atau tidak, pelan-pelan lelaki itu melambatkan jalannya sampai kami bersisian.
Parkiran sepi ketika kami sampai. Tapi bukan berarti tak ada orang. Delapan sepeda motor terparkir di beberapa titik tanpa terlihat pemiliknya. Satu sepeda motor yang sangat kukenal juga masih di sana dengan seorang cowok nangkring di atasnya. Tepat di sebelahnya, ada motor matic putih. Buruknya, Aras menuju ke sana. Mau tidak mau aku mengekor di belakangnya.
"Aku enggak bawa helm buatmu. Maaf," ucap Aras sambil memasang helm di kepalanya sendiri.
Aku hendak mengangguk tapi sebuah tangan terulur menyerahkan helm biru padaku.
"Kalau mau ngajak jalan cewek itu bawa helm dua, dong! Kalau enggak, jalannya ntar aja, atau enggak usah sekalian! Keselamatan itu nomor satu!" Cowok tersebut menceramahi Aras seolah ia sadar keselamatan. Padahal jika bukan karena ancaman Ayah dan paksaan dariku, ia enggak mungkin peduli tentang helm.
Sambil menerima pemberian Diksa, aku mendengus. "Ngapain masih di sini?" diskusi.
Adik lelakiku nyengir lebar. "Awalnya, sih cuma mau nguntit. Tapi karena kayanya 'cowok teman sekelas Kakak yang biasa aja' ini cuma mikirin diri sendiri dan keselamatan Kakak sama sekali enggak dipikirin, alangkah baiknya kalau aku ikut," katanya sambil memasang helm, memundurkan sepeda motor, memutar kunci dan menyalakan mesin. "Kakak kubonceng saja, ya?"
Aku menatap Aras sebentar. Setelah cowok itu mengangguk dan jalan duluan, aku segera memasang helm di kepala kemudian naik ke boncengan Diksa. Tak menunggu lama sampai kami menyusul Aras. Mengikuti ke mana lelaki tersebut membawa kendaraannya.
Baru sebentar bergabung dengan pengendara lain di jalan raya besar, Aras membelokkan sepeda motornya ke gang sempit. Lebih sempit dari gang rumahku. Dan lebih penuh. Rumah-rumah di sana berdempetan satu sama lain. Berjejal dan berdesakan seperti kerumunan masa. Bahkan beberapa tampak terhimpit sangking kecilnya.
Belok kanan, belok kanan lagi, masuk gang lagi. Diksa memelankan laju ketika beberapa meter di depan, Aras memberhentikan motornya tepat di depan toko tutup. Memarkir mepet toko, hampir menyentuh pintu besi yang sudah karatan itu. Diksa mengikuti setelah menurunkanku.
"Sekarang, dia ikut aku," Aras menunjuk aku dan dirinya bergantian, "sementara kau cuma boleh menguntit sampai di sini," kemudian sepasang matanya tertuju pada Diksa, menunjuknya, kemudian menunjuk ke bawah.
Sayang sekali kalimat tegasnya tak sedikitpun membuat Diksa berniat diam. Bahkan sekarang cowok itu sudah bersiap buka mulut untuk protes.
Tapi keduluan aku yang dengan sigap meletakkan telunjuk kanan di bibir Diksa dan melayangkan tatapan tajam. "Aku cuma pergi sebentar. Jangan macam-macam," perintahku yang dibalas "ya" lesu oleh Diksa.
Aras melangkah duluan, masuk ke gang tepat di kanan toko. Gang yang lebih sempit dari gang yang kami lalui sebelumnya. Sangking sempitnya sampai hanya bisa dilewati satu kendaraan roda dua, itupun harus dengan sangat hati-hati. Kalau tidak terbiasa, kayanya bakalan menyerempet pagar rumah di kanan kiri atau nyungsep ke halaman rumah orang. Beruntung Aras mengajakku jalan kaki.