Diksa dan aku sampai di rumah pukul sembilan belas lebih lima menit. Disambut oleh lampu teras yang menyala terang dan Ayah di depan pintu.
Aku hanya mengatupkan rahang di hadapan Ayah dan menatap lurus. Entahlah kalau Diksa. Aku enggak berminat melirik barang sedikitpun.
Pria empat puluh tahun tersebut sama sekali tidak tampak seperti kebanyakan orang yang sedang marah. Sepasang lengannya dilipat ke depan dada dan kedua ujung bibirnya melengkung lebar. Beliau menatapku dan lelaki di sebelahku dengan tenang.
"Sepertinya, hari ini kalian ingin sekali lari malam, ya?" ucap beliau lembut.
Kudengar kekehan pelan dari samping. "Sekali doang, Yah. Janji, deh nggak lagi." Baiklah, Diksa mulai melakukan negoisasi supaya terbebas dari konsekuensi atau paling tidak dapat keringanan. "Lagian tadi aku sama Kak Sari cuma main bentar ke rumah teman, kok. Kita juga barengan, enggak mencar-mencar. Ya, kan, Kak?"
Ayah menggeleng pelan dan aku paham maksudnya. Negoisasi gagal dan peraturan berlaku.
Pada akhirnya, setelah meletakkan tas di kamar masing-masing dan mengganti seragam dengan celana training, kaos longgar kemudian dirangkap jaket, aku dan Diksa harus lari dengan rute yang sama seperti lari pagi.
Bayangkan, baru sampai, belum sempat melepas penat dan bahkan mandi pun belum, sudah diminta lari. Hukuman ini benar-benar menimbulkan efek jera. Jangan heran jika aku tidak suka melanggar peraturan Ayah. Kalau bukan karena Diksa memaksa, aku tidak mau.