Dulu sekali aku seperti Diksa, bahkan lebih parah. Pembantah dan pemberontak. Tak suka dengan aturan. Selalu mencari-cari kesempatan untuk melanggarnya.
Kena hukuman? Bodo amat. Ya, sudah lah, jalani saja apa yang aku mau tanpa peduli konsekuensi. Enggak pernah kapok meskipun harus lari setelah itu. Lagipula, Ayah, kan enggak pernah marah. Sebandel-bandelnya aku dan Diksa, Ayah selalu memberikan hukuman dengan senyuman, elusan di puncak kepala dan berkata dengan lembut namun tak dapat ditawar.
Semua itu berlangsung sampai aku lulus SD. Tetapi berubah saat ulang tahunku yang ke dua belas, ketika kelas satu SMP.
Sekolah baruku sama sekali tak menyenangkan. Di kelas ada perisakan. Seorang perempuan berambut keriting korbannya. Ia selalu diejek karena rambut dan penampilannya yang dekil. Aku pikir, dia berasal dari keluarga kurang mampu atau entahlah. Yang jelas, penampilannya tak pernah rapi. Rambutnya selalu kusut dan seragamnya tampak tak disetrika.
Selain itu, di sana aku tidak lagi bisa membedakan mana murid yang benar-benar pandai dan yang terlihat pandai karena curang. Mereka yang ketika pembelajaran tidak aktif bahkan sering membuat masalah tetap mendapat nilai baik saat ujian. Sedangkan aku selalu remidial bersama perempuan keriting tersebut. Pelan-pelan, akupun ikut terseret perisakan dan mendapatkan julukan Si Bodoh.
Kemudian ketika naik kelas dua, aku menemukan rahasia mereka dapat nilai bagus padahal di kelas tak pernah serius belajar. Rupanya selain aku dan perempuan keriting, ada satu siswi lagi yang terjerat perisakan. Seorang perempuan berkacamata bulat, rambutnya selalu diikat rapi ke belakang, seragam sekolahnya selalu wangi, punya wajah yang putih dan cantik. Kuperhatikan ia lebih pendiam dari yang lain, tak pernah berbuat kekacauan, sering tersenyum namun tak pernah tertawa.
Gadis itu dimanfaatkan kepintarannya. Dipaksa memberi jawaban diam-diam saat ulangan. Aku pernah tak sengaja mendapatinya di ancam jika tidak menurut atau melapor ke guru.
Kasihan. Ingin sekali aku melakukan sesuatu. Tapi apa? Aku sendiri juga dirisak.
Tiga tahun bertahan di lingkungan buruk tanpa teman dan punya banyak musuh membuatku berpikir.
Ayah benar. Tanpa peraturan, semua akan kacau. Jika aturan hanya ditulis sebagai formalitas tanpa dijalankan, itu tak ada artinya. Maka dari itu, di setiap peraturan harus ada hukuman atau konsekuensi. Supaya tidak ada yang melanggar dan kehidupan berlangsung dengan baik.
Ayah benar. Peraturan dan keadilan harus ditegakkan. Hukum harus berdiri dan tak memihak. Tidak ada yang boleh kebal dari aturan atau keamanan dan kesejahteraan tidak akan pernah terwujud.
Sejak saat itu, prinsipku hanya satu: keadilan untuk semua orang. Di jenjang pendidikan yang berikutnya, aku bertekad menegakkan prinsip tersebut di kelas dan sekolahku dengan menggunakan dua cara. Salah satunya dengan menjadi ketua kelas supaya memiliki wewenang dan kekuasaan di kelasku sendiri.
Dan sekarang, keinginanku dalam hal itu telah terwujud. Aku menjadi ketua kelas XI APHP 1. Kelas yang dinobatkan sebagai kelas paling aman dan paling minim permasalahan se-SMAKTASA, seperti yang dibilang Raden dan orang-orang. Tetapi kenyataannya, kelas paling aman pun tetap kebobolan Si Pencuri yang artinya, ada ketidakadilan terjadi di sana.
Gemericik air yang mengalir dari kran wastafel ke telapak tanganku terdengar. Kutampung benda basah nan bening itu kemudian meraupkannya ke muka. Dingin terasa menerpa kulit. Ketika aku mengangkat wajah dan melihat ke cermin di hadapan, tampak titik-titik air menetes dari muka ke jas seragamku. Rambut bagian depanku juga basah. Karenanya aku mengambil selembar tisu dengan tangan kanan di kotak dekat wastafel untuk mengelap wajah, membuang bekasnya ke kerajang sampah di pojokan dan kembali ke depan cermin.
Dengan pelan dan awas aku menengok kanan kiri. Tak ada orang lain di sini. Kemudian mengeluarkan tangan kiri dari saku dan mengangkatnya sejajar muka. Menatap nanar benda kecil di tanganku dan menghela napas.
"Aku menyesal. Kak Delima kesusahan dan bingung setelah flashdisknya hilang. Aku melihatnya menangis dan meracau tentang biaya sekolah Erin. Aku benar-benar enggak tahu Kak Delima menulis untuk bantu Ibu dan Ayah. Novelanya harus terbit bulan ini dan laku."
Ucapan Dinar kemarin sore terngiang kembali di kepalaku. Saat itu aku numpang ke kamar mandi. Delima dan Aras masih di lantai dua. Lalu aku bertemu Dinar sebelum menginjak tangga pertama.
"Aku salah telah iri pada saudara kandungku sendiri. Kupikir, dengan menguak kecurangan Kak Delima dan mengacaukan impiannya, aku akan merasa puas. Namun justru gundah yang aku dapatkan. Please, Kak Hapsari, tolong bebaskan kakakku dari hukum Si Pencuri. Dia memang mengambil ide kelompok lain, tapi hukuman yang dia terima tak setimpal. Kehilangan pekerjaan, bakti kepada orang tua dan biaya pendidikan Erin. Ini sama sekali tidak adil!"
Kupejamkan mata pelan-pelan. Menarik dan mengembuskan napas tiga kali. Kemudian mengepalkan tangan yang masih menggenggam benda tersebut dan melangkah ke luar kamar mandi. Menuju kelas. Sebentar lagi waktu istirahat berakhir.
***
"Apakah ada pertanyaan?" Nirina bertanya kepada seisi kelas. Pada kali ini ia yang bertugas memimpin jalannya presentasi.