Ibu meletakkan piring terakhir berisi tumpukan tempe mendoan. Ayah menarik kursi di sebelahnya. Ibu pun duduk di sana. Sedangkan aku yang sebelumnya ikut membantu Ibu menyiapkan makanan duduk bersebelahan dengan Diksa, di hadapan kedua orang tua kami dan dipisahkan meja makan.
Setelah berdoa, semua makan tanpa suara. Suara sendok beradu piring sampai terdengar sangking heningnya. Dulu, Ayah yang menetapkan peraturan makan tanpa suara. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi yang membicarakan tentang peraturan tersebut. Tanpa gembar-gembor, semua mematuhinya.
Sekarang aku paham kalau sikap seperti itu hanya memerlukan pembiasaan. Kalau sudah terbiasa, tidak perlu paksaan untuk melaksanakannya. Semua sudah terprogram di dalam otak dan akan jalan dengan sendirinya.
Ada pula peraturan setelah makan. Yakni wajib membereskan alat makan masing-masing.
Kalau yang satu ini, masih sering dilanggar oleh Diksa. Jika Ayah mengetahuinya, ia akan ditawari dua pilihan. Membereskan peralatan makan sesuai peraturan atau lari. Jika Ayah sudah meninggalkan dapur lebih dulu, dia beruntung cuma dapat omelan dari Ibu yang tentu saja hanya dianggap angin lalu olehnya.
Namun hari ini, makan malam berjalan dengan baik dan Diksa tidak berulah.
"Diksa." Itu suara Ayah memanggil. Pria empat puluh tahun tersebut ada di ruang tengah, duduk di sofa depan televisi. Aku bisa mengetahuinya hanya dengan menoleh karena antara dapur, meja makan dan ruang tengah cuma dibatasi lemari panjang sepinggang yang juga digunakan untuk meletakkan televisi.
Dan sepertinya dugaanku salah. Panggilan Ayah barusan menandakan bahwa adik lelakiku tersebut telah membuat ulah. Diksa yang baru naik tangga seperempat jalan balik turun lagi untuk menghadap Ayah.
Ia jalan sambil menerapkan pelajaran baris-berbaris seperti paskibraka kemudian berdiri tegak, kedua lengannya mengepal di samping badan dan dadanya membusung. "Siap, komandan!" lalu memberi hormat.
Kayaknya OSIS SMAKTASA punya kandidat petugas upacara yang bagus. Dengan catatan kalau bandelnya Diksa dihilangkan. Bahaya jika saat hendak bertugas dia malah ngaret atau lebih parah lagi ngacir dan enggak balik.
Ayah menggelengkan kepala melihat kelakuan putranya. "Kamu hari ini bolos jam pelajaran terakhir? Bolos ke mana?" Pertanyaan Ayah sangat telak. Tanpa basa-basi, langsung to the point.
Soal dari mana Ayah tahu Diksa membolos, entahlah. Dari dulu Ayah selalu tahu banyak hal yang tidak kutahu dari mana beliau mengetahuinya.
Ah, kata-kataku terlalu berbelit. Intinya, berbohong kepada Ayah sama dengan percuma dan malah berakibat buruk.
Aku yang mendengar kata bolos pun seketika menaikkan alis. Terasa asing kata tersebut disambungkan dengan Diksa.