Sabtu pagi selalu sunyi. Gerbang besar yang biasanya dibuka lebar ditutup rapat dengan gembok seukuran kepalan tangan.
Sejauh aku memandang, yang tampak di dalam sana hanya benda mati. Pohon, dedaunan gugur, gedung tata usaha dan angin yang sesekali menerpa. Namun apa yang terlihat di depan mata belum tentu sesuai dengan realita.
Aku segera merapatkan jaket yang kukenakan. Menarik resletingnya sampai ke leher. Tengok kanan, tengok kiri. Aman. Kebetulan tidak ada kendaraan lalu-lalang di jalan pukul setengah tujuh pagi ini. Namun untuk berjaga-jaga, aku tetap melangkah ke balik pohon di pangkal gerbang. Ada dua pohon. Satu di luar pagar, satu lagi di dalam, hampir mepet pos satpam. Sejak bergabung, aku sudah curiga kalau keberadaan dua pohon tersebut berfungsi sebagai aset organisasi untuk melatih para anggota.
Dengan mudah aku memanjat, lompat ke dahan pohon di balik pagar, lalu turun dengan selamat. Kemudian merapatkan punggung ke dinding tinggi di belakangku dan melangkah menyamping perlahan-lahan ke arah gedung.
Lain di luar, lain di dalam. Sepi yang tampak di depan tadi luluh lantak setelah melihat bagian dalam SMAKTASA. Tepatnya di lapangan upacara. Anggota organisasi telah berkumpul. Kuhitung dengan cepat, mereka ada tiga puluh enam. Salah satunya Sang Kapten.
Apakah cuma aku yang terlambat?
"Saya pikir, kau tidak datang." Suara di belakangku bikin terkejut. "Kapten mengatakan kepada saya kalau sepertinya kau ingin berhenti. Saya sangat bersyukur ternyata itu tidak benar."
Tanpa berbalik pun aku tahu siapa yang berbicara. Beruntung aku ingat kalau pria itu merupakan guruku juga. Jadi aku berusaha bersikap sopan.
"Saya tidak pernah mengatakan kalau saya akan berhenti, Pak."
Pria di hadapanku mengangguk. Kemudian berkata kalau pertemuan akan segera dimulai. Aku paham maksudnya dan segera melangkah ke lapangan untuk bergabung dengan yang lain.
"Wow, cewek paling taat peraturan terlambat. Ini berita yang bagus untuk diliput. Sayang sekali organisasi ini bersifat rahasia. Lain kali, datanglah terlambat saat sekolah. Aku akan membuatmu semakin terkenal." Arusha, gadis perwakilan dari kelas XI APHP 2 yang juga anggota pengurus majalah dinding SMAKTASA menyambutku.
"Jangan begitu! Hapsari sedang dalam masalah. Kalau kau semakin memperkeruh keadaan, bisa-bisa dia keluar dari Eka Waska sekarang juga!" Lelaki di sebelahnya menimpali. Dia perwakilan dari XII ATPH 1.
Aku menggeleng dua kali. "Tidak apa. Aku tahu Aru cuma bercanda."
Gadis itu menyikut lengan kakak kelasnya. "Tuh! Jangan semua dianggap serius, dong, Kak! Santailah sedikit. Hapsari tidak apa-apa, kok." Kemudian tersenyum lembut padaku.
"Tapi kau benar tidak akan keluar, kan? Masalah dengan Kapten itu ... kedengarannya buruk." Lelaki itu menatap ke arahku penasaran.
Aku menggeleng tidak yakin. "Mungkin?" Aku sendiri tidak tahu.