Limo Sekonco

Apresia Ardina
Chapter #1

BERANGKAT KE JAKARTA #1

Namaku Soni. Itu nama panggilanku. Tapi nama lengkapku adalah Sonia Gustomo. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti dengan orang tuaku yang memberi aku nama Sonia pakai huruf akhiran a. Hingga semua teman-temanku memanggil aku Nia. Padahal aku ini super ganteng banget. Kata ibuku aku ini kalau kemana-mana pakai blankon kaya Presiden pertama Indonesia yang super gagah.

“Wes jangan ngelamun sambil geleng-geleng sendiri to le! Dari tadi kamu itu kok aneh. Cepet di makan sayur lodeh kesukaanmu itu!” ucap ibuku sambil menuangkan minuman sehat berwarna putih buat aku yang sudah sangat besar ini. “Bu, kok minum ini. Sudah besar banget aku ini lho.”

“Biar bisa tumbuh tinggi, le.”

“Loh, tinggiku udah hampir dua meter ini kok masih kurang.”

“Wes, jangan bantah ibuk yo! Cepet di habiskan itu!”

“Njih, bu.”

Aku ini anak yang berbakti banget ama bapak ibuku. Karena aku ingin nanti bisa sukses kayak bapakku. Dengan cepat aku habiskan minuman hangat pemberian ibuku ini.

“Bu, namaku kok Sonia to. Jangan di kasih huruf a belakangnya bu!” ucapku masih protes sambil terus menggelengkan kepalaku.

“Wes, itu nama pemberian eyang putri buat kamu. Dulu eyang itu punya kekasih namanya sama kayak kamu. Tapi, kakek tidak masalah saat kamu di berikan nama itu sebelum eyang meninggal. Tapi bener juga ya. Kok koyok cewek yo le.” Akhirnya aku lega saat ibu menyadarinya sambil melirik ke arah bapak yang masih asik membaca koran di sebelahku.

“Bapak, iku nama anak kita kok kayak cewek ya?” tanya ibu ke bapak sambil mengernyit dahinya.

“Wes, gak apa-apa. Lagi pula apalah arti sebuah nama. Yang penting kamu itu sukses dunia akhirat, le. Bapak bangga karo awakmu yang sangat gagah ini. Jangan sampai lupa kalau di Jakarta, kamu pakai terus blangkon pemberian kakekmu itu. Biar cewek-cewek podo kepincut.” Dengan santai bapak malah membuatku semakin geleng-geleng.

“Loh, bapak kok di kasih minuman putih ini, bu. Bapak ini maunya yang hitam. Wess..wes.” Aku menahan tawa melihat ibu yang salah memberikan minuman kepada bapak. Wajah bapak sampai melotot.

“Ealah gusti, maafkan ibu yo, pak! Ini gara-gara Sonia, bingung mikirin namane iku, pak. Sampek ibu iki kebingungan.”

“Maafkan Soni, bu! Tapi bener ya bu, tanya eyang kenapa kok namaku Sonia!” Alamat aku akan jadi bahan guyonan semua teman-temanku di kampus nanti. Hari ini aku akan pergi ke Jakarta untuk melanjutkan kuliahku di sana. Bapakku sangatlah kaya raya. Yah, aku adalah anak dari sultan Gustomo. Kakekku adalah pengusaha property di Jogja. Usahanya sangatlah besar. Bapakku penerus tunggal perusahaan kakekku yang sudah meninggal. Kenalan bapakku sangatlah mengerikan alias para sultan. Ada pengusaha berlian, produser film, sutradara. Sultan pasti kenalannya juga para sultan gaes, heheh.

“Wes to le, jangan ngelamun aja! Ayo cepet siap-siap! Jangan lupa, nanti pulang bawa menantu seng ayu yo! Ibumu ini udah tua. Pengen segera menimang cucu. Kayak bu Lugiono tetangga kita itu. Cucunya lucu yo, pak?”

“Baru mau berangkat kok sudah minta cucu to bu. Doain Soni lulus dengan baik yo bu!” Hatiku sangat berat meninggalkan ibuku sendirian. Ah, air mataku harus aku tahan biar tidak seperti anak kecil jika tidak di berikan permen akan menangis.

“Hahah, kakak Nia hati-hati ya.” Hmm, suara adik laki-lakiku yang sangat super bawel dan jahil ama aku, muncul dibelakangku. Tapi aku sangat sayang dan sedih juga kalau berpisah dengannya. Tidak akan ada yang adu jotos ama aku lagi jika di rumah.

“Heh, kalau kamu manggil aku Nia lagi, ndak ta ajak lihat Monas di Jakarta lo!” Kupeluk erat adikku yang ternyata juga sedih mau aku tinggal pergi menuntut ilmu di Jakarta.

“Kakak, hati-hati ya! Jangan lupa tiap hari nelepon aku ya, Nia. Hahaha..”

“Loh awas ya!”

Kami saling bekejar-kejaran kayak anak kecil dan membuat ibu hanya tersenyum menggelengkan kepalanya terus melihat kami. Aku sebenarnya sangat iri dengan adikku yang di beri nama Rino Gustomo. Kenapa dia mendapat nama bagus. Sedangkan aku Nia. Duh rasanya kok malah jengkel ya.

“Wes-wes, sudah mainannya! Sonia, eh maksud ibu Soni. Kamu segera berangkat nanti terlambat piye to le!”

“Sudah kebiasaan soalnya, bu. Jadi lupa terus manggilnya.” Protesku tiada henti.

“Iyo-iyo, maafkan ibu yo. Wes hati-hati le. Jangan lupa pesennya ibu yo!” Sambil terus memeluk ibu, aku tetap menahan air mataku yang sepertinya tidak bisa aku tahan lagi, dan membuat adikku Rino tertawa meledekku.

“Tuhkan, bener namanya Nia. Nangisan..” teriaknya yang membuatku rasanya malah gemas hingga aku peluk super erat, sampai dia memohon ampun denganku. “Rasakno yo bocah bawel!”

“Maafkan kakak..!”

Aku akhirnya memasuki mobil dengan bapak yang mengantarku sampai bandara sekaligus berangkat ke kantor.

“Bu, jangan lupa tanyakan eyang ya! Kenapa namaku harus Sonia?” teriakku di dalam mobil sambil mengeluarkan sedikit kepalaku di jendela dengan melambaikan tangan kananku ke arah ibu dan Rino.

“Tapi eyang putri sudah meninggal. Bagaimana ibu tanyanya?” teriak ibu yang membalas pertanyaanku.

Lihat selengkapnya