“Alhamdulillah, sampai aku di ibukota. Ndak sabar pengen lihat Monas.” batinku sambil terus menatap keindahan kota Jakarta dari jendela pesawat yang masih sedikit tertutup awan.
“Loe ga pernah ke Jakarta?” Gadis besar di sebelah yang hampir menggencetku tiba-tiba berbicara. Aku masih menganga mau menjawab apa. Kok rasanya kaget banget. Sedikit lirikan ku arahkan kepada kedua temanku yang masih cekikikan melihatku tidak berdaya seperti ini.
“Njih mbak, ini pertama saya ke Jakarta.” Jawaban terpatah-patah aku lontarkan dengan berharap dia segera sedikit bergeser dari duduknya yang sangat mepet, apalagi aku juga tinggi bongsor. Untung ndak naik mobil. Bisa-bisa bannya bocor, trus oleng, ah aku ini kok mikir macam-macam.
“Wong ndeso? Pantes ga tahu Monas. Hahahaha…” Busyet, duh telingaku langsung pecah. Ku usap-usap sampai merah. Aku hanya menganggukkan kepalaku sangat pelan. Sabar adalah kunci dari kesuksesan. Tapi yang sangat membuatku kesal, dua temanku alias sahabatku yang sangat menyebalkan terus menertawakanku.
“Nia, Nia, Hahaha…” Gali dengan Slamet terus meledekku sampai puas. Suara pilot sudah mulai terdengar, menyampaikan jika pesawat ini akan segera mendarat. Sabuk pengaman harus segera di pasang dengan benar. Pramugari semohay lan ayu memeriksa semua penumpang. “Duh semoga pas giliranku dapat senyuman ayunya. Hehe.” Tinggal beberapa langkah lagi pramugari ayu itu menuju kursiku. “Permisi, bisa sabuk pengamannya di pakai dengan benar.” Semakin aku tersenyum mendengar suaranya alus, merdu nian. Tapi pandanganku jadi hilang. Punggung sebesar lautan ada di hadapanku. “Gusti, paringono sabar.” batinku sambil mengelus-elus dada.
Aku berusaha melihat ke depan tetap aja terhalang. Ya wes, aku pasrah menyandarkan badanku kembali di sandaran kursi. “Ya wes aku pasang sendiri sabuk ini, tapi kok satunya ga ada ya.” Perasaanku mulai lemas ketika kedua mata bulat hitamku ini melihat tali sabuk pengamanku berada di sebelah tergencet pinggangnya. “Ya Allah, kok aku hari ini sangat tidak beruntung.” Aku memberanikan diri untuk menegurnya. “Bismillah.” batinku lemas.
“Apa, lihat-lihat! Mau ta timpuk sekarang? Hah..” Wajahnya yang menyeramkan itu, membuat aku menggelengkan kepala. “Mboten, eh, maksud aku ini mba, tali sabuk saya kecepit.” Aku menjawab terpatah-patah sambil menunjukkan jari telunjukku ke arah pinggangnya.
“Oh, bilang dong!” Dia menggeser tubuhnya agar aku bisa mengambil sabuk pengamanku yang sudah mbulet ini.
Alhamdulillah akhirnya aku bisa memasang sabuk ini dengan baik. Pesawat akhirnya mendarat dengan sempurna seperti diriku yang sangat sempurna dan ganteng. Aku bisa bernafas lega. Selama dua jam rasanya sesak banget ini pesawat. Dia akhirnya pergi dari sebelahku. “Alhamdulillah ya Allah, aku akhire bisa bebas setelah mengalami kesempitan yang luar biasa.” gumamku sambil menghela nafas.
“Hahaha, asli ini cerita bisa buat bahan nanti di rumah.” Gali dan Slamet masih aja tidak berhenti meledekku.
“Kalian itu ya, tertawa di atas penderitaan sahabatmu yang super ganteng ini. Itu dosa.” ucapku sambil cemberut ke arah mereka.
“Ya, nanti kita tobat ya, Nia. Hahaha..” Mereka malah menertawakanku dan saling tos. Aku melotot ke arah mereka yang seketika membuat ke dua mulut itu diam. “Biar, nanti kalian kost aja ndak usah tinggal di rumahku.” ancamku dengan tegas.
Mereka saling menatap, menganga, akhirnya sultan tidak terkalahkan. “Heheh, kau, aku pijitin nanti di rumah, iya kan Met.” ucap Gali sambil memegang pundakku yang ta tampis. “Ndak usah merayu sultan, males.” jawabku sambil berjalan, dan akhirnya aku melupakan ledekan kedua temanku, ketika mbak pramugari tersenyum ke arahku. “Subhannallah, ayue yo pramugari iki.” Senyuman cah ayu yang cantik banget. Pramugari ayu itu dengan lembut berbicara kepada kami bertiga. “Mas jangan lupa bawaanya ya. Mari silahkan keluar! Dan semoga selalu selamat sampai tujuan.”
“Njih mbak ayu….” Dengan kompak kami bertiga menjawab sambil meringis. Tapi yang aku ndak habis pikir, kedua temanku kok ikutan pakai bahasa jawa. “Ealah, dasar tiru-tiru bahasa gaulku aja.”
“Hoy, jangan lama-lama ayo segera keluar. Pakai ngobrol lagi.” Ucapan penumpang yang tidak aku sadari masih mengantri di belakang, membuat kami bertiga terperanjat segera berjalan keluar dari pesawat menuju pengambilan koper yang super antri.
“Aku ta selonjor sek ya!” Kakiku rasanya hampir patah. Aku luruskan biar otot-ototnya yang kaku kembali lemas bisa digerakkan. Sudah hampir tiga puluh menit menunggu, akhirnya koperku dan kedua temanku ini keluar dari bagasi. “Wes ayo segera keluar! Eh, Gali coba kau telepon Roy! Takutnya dia lupa.” ucapku sambil terus berjalan dan tanpa aku sadari Slamet menghilang begitu saja.
“Slamet mana ini kok ndak ada?” Tolah-toleh ndak jelas aku ini selalu mencari teman aku yang satu ini.
“Roy udah ada di depan, ayo! Kamu ini ngapain Niaaaa….” Gali menarik lenganku yang aku tahan.
“Kamu ndak sadar to. Slamet mana? Ndak ada ini, udah aku cari.” Masih tolah toleh, aku memandangi semua tempat dan tidak juga menemukan Slamet.
“Oh, iya. Aduh, kemana saja anak itu menghilang. Udah biarin aja, kita keluar dulu. Nanti pasti dia akan kesana juga nyamperin kita.”
“Bener juga. Kamu memang paling pinter, Gali.”