Selama dua jam kami masih saja di dalam mobil Roy. “Duh, opo ndak bisa pakai jalan tikus?” Ku keluarkan kepalaku agar bisa melihat jalan raya dari jendela mobil yang terbuka ini. Ke dua mataku melotot melihat puluhan mobil berada dalam satu jalanan. “Busyet, iki mobile siapa aja yo. Banyak banget lo.” Aku menggeleng terkejut melihatnya.
“Eh, kau ini kayak anak kecil saja. Masuk!” Gali menarikku ke dalam mobil sambil ngomong kenceng, sampai semuanya kaget.
“Ah, kumaha sora nyaring, ealah.” Slamet seperti biasa, bahasa campurannya malah membuat kami semua kebingungan.
“Loe ngomong apa sih, Met?” Roy masih di depan kemudinya sambil terus menguap.
“Oh my, rambutku. Ini kapan sih sampainya?” Justin kebingungan melihat wajahnya yang sangat berantakan di kaca kecil kesayangannya.
“Wes, wes, sabar itu kunci kesuksesan kata ibuku. Tapi kalau begini yo susah sabare.” gerutuku tiada henti ini yang tak pikir sia-sia, kecuali mobil Roy bisa terbang.
Dengan wajah kucel sangat berantakan, limo sekonco terdiam menahan kantuk yang sudah tidak bisa kami tahan. “Diinnnn…” Aku mengusap-usap wajahku saat bel mobil itu membuatku terbangun. Segera aku lihat kembali keluar dari jendela mobil ini dan, “Loh kok depan sudah kosong, Roy ndak segera maju malah ngorok. Duh piye to iki.” Ku telan salivaku saat melihat laki-laki bertubuh dempal dengan tangan mengepal datang hingga wajahnya mengerut. “Roy, Roy, ayo, bangun! Duh gawat. Royyyyy…” teriakku sambil mengoyak-ngoyak tubuh Roy yang akhirnya terbangun juga.
“Ah, loe kenapa sih?” Aku menunjukkan jariku ke arah kaca spion di depannya. “Wah gawat ini.” ucapnya sambil panik melihat laki-laki dempal itu semakin dekat, siap dengan tangan mengepalnya diarahkan ke mobil kita. Kaki Roy berusaha meraba-raba pedal gas yang ada di bawah.
“Argh…” Roy menekannya dengan keras sampai kami semua terkejut berteriak bersama-sama. Mobil Roy akhirnya melesat kencang. Kembali aku menolehkan pandanganku ke belakang, laki-laki dempal itu mulutnya komat-kamit entah mau ngomong apa ndak jelas. Tapi, paling tidak hatiku lega bisa lolos dari kepalan kuatnya. Ndak bayangin jika mengarah ke pipi gantengku ini, duh bisa turun pamor aku.
Selama dua jam akhirnya sampailah kami di sebuah perumahan elit yang masuknya saja harus pakai kartu khusus. Gak kebayangkan sultannya diriku, hehe. “Pak, saya yang tinggal di rumah nomor empat itu lo, yang paling besar. Anak dari Gustomo.” Sambil meringis bangga aku memberitahu pak satpam yang mengernyit ndak tahu kenapa.
“Loh, kamu laki-laki? Kok ini tulisannya Nia. Jangan-jangan kamu bohong ya? Sudah sana, kalian salah alamat!” ucapan satpam yang membuat kami satu mobil ini melotot. “Sek, aku ini Nia pak. Namaku Sonia pakai a.” batinku sambil nesu banget harus mengakuinya.
“Gak percaya, pasti kamu tambahi a, kan. Sudah sana!" Masih saja dia ngotot dan mengusir kami.
“Eh mana pula kau itu. Ngusir-ngusir seenaknya. Mau ta pukul kau?” Gali yang sangat emosi keluar dari mobil sambil melingkis baju di lengannya. “Hahaha…” Kami di dalam mobil ndak bisa nahan tawa, melihat Gali yang langsung menciut saat seorang satpam dengan tubuh bongsor, tinggi, datang menampakkan wajah garangnya ke arah Gali yang sepontan membuatnya mengkerut menunduk.
“Oh, maksud aku dia itu beneran Nia. Maafin aku bang!” Gali lari terbirit-birit kembali memasuki mobil.
“Mangkanya loe jangan sok jago gitu, ntar jidat loe benjol tau rasa.” Roy dengan gaya gaulnya membuat Gali manyun.
“Trus, gimana ini yo? Kok ga percaya sih pak satpam iki.” Aku masih saja tolah-toleh tidak jelas mau ngapain.
“Call your father! Oh my. Kamu itu, gini aja ga bisa memecahkan. Justin yang paling cerdas pasti bisa memberikan solusi. Come on, Nia!” Kali ini Justin benar, aku mau telepon bapak aja.
“Wes mana tasku?, ta ambil hp, telepon bapak!” Kuambil tas yang berada di sebelah Justin. Dengan masih mangkel, aku menekan nomor bapak yang tidak juga di angkat. “Ga diangkat gaes.” Limo sekonco langsung lemas dan lesu. “Kriukk…” Sama kayak perutku ini yang sudah berteriak, meronta, kepadaku ini.
“Tok..tok..” Kaca jendelaku diketuk salah satu satpam yang membuatku melongo. Aku perlahan membukanya. “Pak maaf ada apa ya?” tanyaku dengan heran.
“Maafkan saya mbak, eh mas. Barusan bapak telepon nanyain mas Sonia. Baiklah, silahkan masuk mas! Saya akan menuntun mas ke sana.” Akhirnya pintu gerbang yang super mewah dan megah itu terbuka, membuat kami lega, plong. “Alhamdulillah, aku wes capek banget ini maunya nyemplung kolam dan bobok cantik.” ucapku sambil merem melek. Roy sambil melotot ke arah pak satpam menyalakan mesin mobil. Pak satpam hanya meringis dan memandu kita sampai di depan rumahku yang sebesar lapangan bola ini.
Roy dengan sempurna memarkirkan mobilnya di halaman rumahku. Satpam itu melambaikan tangannya dan pergi. “Thanks, oh my. Aku rasanya kaku.” Justin keluar dari mobil, mengeliat, meregangkan semua ototnya, diikuti Slamet yang tidak mengetahui semua kegiatan karena mendengkur terus sepanjang perjalanan. Gali dan juga Roy dengan meringis mengikuti semua gerakan Justin. "Why, kalian ini selalu mengikuti aku." ucap Justin dengan kesal.