Dhira mengantar kepergian Lingga ke kantor dengan mata merah dan lelah. Semalam suntuk ia merawat Kiran yang ternyata demam tinggi dan mengharuskan ia menginap dilantai beralaskan bed cover dikamar Kiran. Puncak lelahnya adalah ketika ia harus membuatkan Lingga dan Karti, ibu mertuanya, sarapan sebelum Lingga berangkat kerja.
"Kalau Kiran belum membaik besok, aku janji akan menggantikanmu merawatnya." Begitu ucapan Lingga sebelum sepeda motornya melesat keluar dari garasi rumah mereka dengan terburu-buru.
Dhira menguap lebar-lebar tatkala menunggu benda pipih tipis berwarna putih itu berbunyi dari ketiak Kiran. Kalau saja Dhira tidak berjanji pada atasannya akan mengerjakan pekerjaannya sedikit-sedikit sebagai ganti atas absennya hari ini, ia pasti sudah meringkuk dalam kehangatan selimut. Dhira bertopang dagu, menyesali kenapa ia harus berjanji untuk bekerja padahal dia bisa menggunakan waktu itu untuk istirahat.
Piip. Piip. Piip.
Benda pipih itu berbunyi. Dhira cepat-cepat mengambilnya. Angka 38.1 tertera disana. Tinggi sekali untuk ukuran suhu tubuh manusia. Dhira menatap Kiran yang terbaring lemas dan hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Dhira mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya lagi cepat-cepat.
"Hari ini istirahat, ya. Tidak boleh main. Sekarang sarapan terus minum obat, oke?"
Setelah melihat anggukan Kiran, Dhira melangkah keluar dari kamar Kiran, mengambilkan bubur yang ia sendiri tidak yakin dengan rasanya. Tapi Kiran sedang sakit, dia tidak akan mempermasalahkan rasanya karena lidahnya tidak akan merasakan sesuatu kecuali panas. Dia juga tidak akan mencium bau agak gosong dari buburnya karena hidungnya sedang tersumbat. Dhira hanya bisa membatin kata 'maaf' dalam hati karena tidak menyiapkan makanan yang lebih baik dari ini.
"Sarapan itu Harus nasi," kata Karti menekan kata 'harus' pada kalimatnya saat melihat Dhira hanya menyiapkan roti tawar dan selai sebagai sarapan Lingga, pagi tadi. “Lingga, kan kerjanya selalu lembur. Makan nasi biar kuat,” katanya lagi.
Ibu mertuanya itu sudah mengomel sejak pagi karena nasi belum matang saat Lingga sudah mau berangkat kerja. Padahal Lingga sendiri sudah menolak untuk dibuatkan sarapan dan lebih memilih memakan roti agar lebih praktis dan Dhira bisa fokus merawat Kiran saja. Tapi bukan ibu mertua namanya kalau tidak mau ‘yang terbaik’ untuk anak satu-satunya itu.
Suami yang pengertian tidak datang bersama dengan mertua yang pengertian juga.
Dhira menyuapi Kiran bubur dengan terburu-buru karena terlanjur kesal teringat omelan Karti tadi pagi. Dilanjutkan dengan meminumkan obat rasa stroberi itu ke mulut Kiran. Kiran tidak protes dengan buburnya tapi juga hanya menghabiskan seperempat dari porsi yang disiapkan Dhira dipiringnya.
“Tuh, Lingga jadi tidak sarapan, kan? Harusnya nasinya disiapkan dari tadi, dong, jangan mepet.” Dhira berhenti mengaduk bubur dalam panci, bergitu terpana dengan perkataan ibu mertuanya. Padahal, sambil menunggu nasi matang, Lingga sudah menghabiskan, setidaknya, empat lembar roti tawar dengan selain yang berbeda-beda dengan lahap.