Dhira dan Lingga menikah lima tahun yang lalu. Saat itu usianya dua puluh enam tahun sedangkan Lingga dua puluh delapan tahun. Bertemu dikota yang membesarkan Dhira, Bandung, disebuah rapat sebagai owner dan client. Saat itu Dhira bekerja disebuah anak perusahaan yang bergerak dibidang hotel sebagai sekretaris direktur. Perusahaannya akan membangun sebuah hotel baru dengan mempekerjakan konsultan bangunan baru dari Jakarta, karena menurut mereka konsultan ini memiliki tawaran dan desain yang lebih menarik.
Disanalah Lingga bekerja, sebagai insinyur struktur yang baru saja naik pangkat menjadi senior engineer setelah lima tahun bekerja disana. Datang ke kantor Dhira dengan membawa satu tas penuh kertas putih bergaris banyak dan tas punggung hitam yang retseletingnya terbuka setengah.
"Pak, retselingnya tas Bapak terbuka." Dhira yang memang cekatan, tidak bisa membiarkan tamunya masuk ke dalam ruang rapat dengan berantakan, apalagi direkturnya adalah salah satu orang yang melihat kepribadian orang dari penampilannya, menegur Lingga dan membantunya menutup tas punggung hitam itu.
"Eh, maaf. Terima kasih, Bu." Lingga merasa tidak enak sekaligus berterima kasih pada Dhira yang telah membantunya, tersenyum, lalu mereka masuk bersama-sama ke ruang rapat.
Itu adalah awal dari pertemuan mereka. Selanjutnya, tatapan mata tidak sengaja terus terjadi selama rapat. Dhira sampai harus menundukkan wajah agar tidak saling bertatapan satu sama lain. Presentasi dari Lingga pun sedikit terbata karena dia lebih banyak salah tingkah dan meminta maaf berkali-kali pada orang-orang yang berada diruangan itu.
Setelah hari itu, kegiatan rapat yang biasanya Dhira benci berubah menjadi kegiatan yang dia tunggu-tunggu, apalagi rapat dengan perusahaan tempat Lingga bekerja. Dia menjadi lebih giat dalam menyiapkan rapat dan berbagai perintilannya. Lebih sering tersenyum dan berdandan dengan baik.
"Jatuh cinta?" itu adalah sapaan direktur yang paling mengagetkannya. Saat itu Dhira sedang membuat jadwal rapat dikomputer ruangannya. Direkturnya tiba-tiba datang dan menyapanya yang sedang bersenandung sambil mengetik.
Dhira menghentikan kegiatannya lalu menatap bapak direktur itu. "Maaf, Pak?"
"Pak Kalingga memang masih muda dan gagah. Wajahnya juga cukup rupawan untuk wanita, bukan?" Pak Direktur kemudian duduk disofa yang biasanya digunakan untuk tamu. Kepala Dhira mengikuti kemana Pak Direktur berjalan dalam diam, heran. "Tapi yang terpenting dia masih sendirian," katanya lagi.
"Saya ..." Dhira terbata.
"Andhira, Andhira," Pak Direktur menyilangkan kakinya, bersandar pada sofa hitam dan merentangkan kedua tangannya disandaran. "Kamu adalah salah satu sekretaris terbaik yang pernah saya miliki. Tapi kamu juga masih muda dan sendiri. Cepat atau lambat, kamu pasti akan menikah dan saya rasa, Pak Kalingga adalah calon yang tepat untukmu."