Kiran sembuh dua hari kemudian. Setelah bergantian libur selama satu hari, akhirnya Dhira dan Lingga bisa bersama-sama pergi ke kantor seperti biasanya. Mengendarai sepeda motor masing-masing kemudian berpisah dipersimpangan. Lingga akan mengklakson dua kali saat ia akan berbelok ke arah kanan dan Dhira akan menjawabnya dengan satu kali klakson, lalu pergi masing-masing.
Hari ini Dhira datang agak pagi karena jalanan tidak semacet biasanya. Alasan lainnya adalah dia tidak bisa tidur setelah pulang dari rumah sakit. Masih memikirkan bagaimana memar kecil itu bisa berada disana dengan bentuk yang mirip, sabuk?
Sabuk siapa?
Ditambah dengan nafsu makan Kiran yang belum kunjung kembali. Dhira dan Lingga harus bergantian memaksanya disetiap jam makan. Camilan yang kadang-kadang Lingga berikan pun hanya dimakan sedikit. Selain itu, Kiran seperti kehilangan jiwanya. Dia hanya menjawab 'ya' atau 'tidak' saat ditanya atau bahkan menggeleng dan mengangguk saja.
Dhira bersandar pada kursi kerja biru dicubiclenya. Tas punggungnya hanya dia letakkan begitu saja disamping kursi dan tidak langsung mengeluarkan laptop seperti biasanya. Kepalanya menengadah menatap plafond putih dengan lampu kotak putih dalam diam. Ia menarik nafas sekali lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
"Mbak Dhira! Gimana? Sudah sembuh anaknya?" itu adalah Anjani, rekan satu divisinya yang baru saja datang. Area kerjanya tepat berada disamping Dhira dan mereka sering mengobrol disela-sela jam kerja.
"Eh, ya ... sudah sembuh, kok."
"Masih kurang tidur, Mbak? Matanya seperti panda, hehehe," ujarnya menertawai Dhira yang memang berwajah sayu dan lingkaran dibawah matanya, membuat wajah Dhira tambah seperti gembel.
"Yaah ... ada beberapa masalah tambahan ..." akunya diiringi dengan kata 'oh' bernada prihatin dari Anjani. Dhira tersenyum masam pada Anjani. Dia tidak membutuhkan lolongan prihatin atas masalahnya, dia hanya ingin tahu dan menyelesaikannya.
"Sejak kapan, Mbak?"
Kepala dan setengah tubuh Anjani tiba-tiba muncul dari balik partisi biru, pemisah antara cubicle Dhira dan Anjani. Kedua tangan Anjani menopang tubuhnya yang berlutut diatas kursi beroda yang senada dengan kepunyaan Dhira. Anjani sepertinya penasaran dengan masalah yang dialami Dhira. Dirinya tetap menunggu walaupun Dhira tidak segera menjawabnya.
Dhira sendiri ingin menyimpan masalah keluarganya tetap pada keluarganya sendiri, tidak pada orang lain. Namun jika ditanya, tentu saja dia ingin sekali menjawab dengan selengkap yang ia bisa. Orang lain tetaplah orang lain. Mau sedekat apapun mereka, ada porsi masing-masing yang hanya bisa diselesaikan oleh yang bersangkutan.
"Emm ... tidak terlalu ingat ..." jawab Dhira akhirnya. Pandangan mata Anjani sedikit kecewa dengan jawabannya. Dia menurunkan kedua tangannya dari partisi dan menghilangkan tubuh serta kepalanya dari pandangan Dhira.
"Oh, oke, deh, Mbak. Semoga cepat selesai masalahnya," ujarnya, lalu percakapan itu berhenti begitu saja.
Tidak menjawabnya, Dhira menarik nafas panjang lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia merapikan ikatan rambutnya yang masih acak-acakkan hasil dari gencatan helm di perjalanan. Sambil menggumamkan kata 'kerja, kerja', ia mengeluarkan laptop dari tas punggungnya, bersiap untuk bekerja.
"Fyuh ..." Dhira melegakan nafasnya, setidaknya meringankan sedikit beban berat dari dadanya. Pandangannya menatap layar laptop yang sedang mulai menyala.
Sejak kapan?
Sejak kapan?
dan sejak kapan?
Pertanyaan Anjani tadi tanpa sengaja terus diulang-ulangnya dalam pikiran. Ada benarnya juga pertanyaan itu. Sejak kapan? Jika ditanya kembali, ia pun pasti bingung. Yang ia ingat betul adalah munculnya memar itu pertama kali, karena tentu saja, memar sangat kentara jika dibandingkan dengan dua hal lain yang mengganggunya. Sejak kapan?