Awan mustahil berwarna ungu. Akur?
Awan mestinya berakrab ria dengan warna putih dan biru. Awan kapas putih di atas angkasa yang biru, itu baru akur.
Awan berwarna ungu? Hm, hm. Aneh tetapi nyata, menurut legenda tua perkotaan, awan semacam itu ternyata memang ada!
Hai, perkenalkan. Namaku Lindur Ungu. Tak lazim, katamu? Namun, apalah arti sebuah nama, menurutmu? Konon, namaku terilhami sosok awan yang istimewa. Mungkin engkau pun tak menyangka, Lindur Ungu adalah awan ungu yang menurutmu mustahil ada itu.
Alkisah, di semesta biru langit kita, hiduplah awan yang berkemampuan menolong manusia tak beruntung. Warnanya ungu lembayung, kecantikannya tak terkira, demikian menurut mitos tua yang tak diingat siapa pun. Nama awan itu Lindur Ungu, warnanya tak lumrah, seperti juga diriku yang kikuk dan kurang gaul.
Nah, berhubung ayah ibuku menyukai awan dan mitologi kuno, maka jadilah aku, putrinya, dinamai Lindur Ungu. Dua puluh tiga tahun yang lalu, aku terlahir di haribaan Pena Wuri, ibu tercintaku. Aku pun disuratkan mencintai setiap awan di angkasa, sebagai sahabat sehidup sematiku.
Kujalani kehidupan dua puluh tiga tahun yang membosankan. Dari sejak matahari terbit, hingga terbenam lagi, tak ada satu pun keinginanku yang terwujud. Padahal aku dinamai sesuai awan ungu. Nah, setahuku, penampakan awan berganti-ganti di langit yang biru. Ironis, hidupku malah monoton dan begitu-begitu saja.
Namun, teristimewa pagi ini, kualami hari yang menarik. Pagi berawan abu-abu nyaris putih, aku terbangun dengan kepala penuh ide. Berbeda sekali dengan pagiku yang sudah-sudah.
Segera kunyalakan komputer tua yang butuh pemanasan ekstra, istilahnya perlu jeda panjang sebelum siap tempur. Maka kurangkai ide-ide muluk sementara sarapanku digodok di dapur. Aku mesti sabar menunggu komputer uzurku siap beraksi. Untuk mengisi waktu, kubuka jendela ruang tengah yang menyuguhkan sekeping langit jernih.