Lindur Ungu

Silvia
Chapter #2

Phantom Editor

Walaupun sempat kuniatkan untuk bersahabat dengan hantu, kekhilafan manusia awam lebih mencolok, membuatku gagal membunuh ketakutanku. Persepsiku didoktrinasi film-film horor yang menyudutkan hantu sebagai makhluk antagonis. Sapaan yang kulihat di layar komputer tidak angker sedikit pun, lantas kenapa sekujur uratku tertarik dan suhu tubuhku panas dingin?


"Halo, sorry ya, kalimatmu terpaksa kuedit. Caramu menulis terlalu kaku. Ini novel kan? Tadi aku kira ini isi makalah, aku baru sadar ini fiksi setelah ada istilah 'awan kikuk'. Lihat setelah kupoles, jadi lebih lumayan kan? Embrio naskahmu ini jadi nyaman dibaca, modal bagus agar calon bukumu tidak gagal lagi."

 

Bila saja ini bukan pagi bolong, eh salah, maksudku pagi buta, mungkin aku sudah meringkuk di bawah selimut atau setidaknya kalap membungkam komputer dengan memijat tombol OFF. Namun aku terpaku di tempat, berhadapan dengan hantu yang meragukan, apakah ini mimpi yang bukan-bukan? Masakan hantu main komputer? Bisa begitukah? Setahuku hantu hanya bermain di film-film box office saja. Apakah mereka sedang merambah ladang bisnis baru? Mau menjadi Yutuber mungkin?

 

Kubaca kembali komentar dari hantu yang berlagak editor itu. "Awan kikuk apanya? Kan kutulis awan canggung!" Tanpa sadar aku protes keras, berteriak ke arah komputerku sendiri. Seperti orang gila yang memaki makhluk tak hidup di dalam benda mati. Jantungku melonjak karena aku mendapat balasan yang telak mematikan nyali.

 

"Wah, sorry, aku tadi salah ketik. Maksudku memang awan canggung sih. Marah ya?" Jawaban itu tersembul vulgar di layar komputer yang tersipu-sipu redup. Maklum komputer tua.

 

Dengan menahan rasa takut aku melirik ke arah keyboard yang membisu. Tidak tampak ada tekanan pada tuts-tuts timbul yang berhuruf buram-buram itu. Namun seperti kejutan film horor, kalimat demi kalimat tercetak di layar monitor yang masih cembung bentuk tabung, sangat tertinggal dari teknologi kekinian. Tentunya bukan monitor datar setipis papan selancar yang amat kuidamkan.

 

Gila, dia bisa mendengar suaraku. Apa si hantu ada tepat di sampingku? Aku berkata dalam hati, takut setan itu mencuri dengar dan merespons tajam. Rasanya aku dikepung oleh ratusan pasang telinga, yang awas mendengar walau tidak tampak batang hidungnya, eh, bukan, maksudku daun telinganya. Hahaha.. maafkan penulis kikuk ini.

 

Dengan hati-hati, aku mengetik dengan jemari yang berjinjit, maklum aku khawatir tuts-tuts yang baik-baik saja itu bisa menyerang balik. "Lumayan hasil editannya. Sepertinya Anda editor ya?" Aku bertanya melalui kolom komentar di sisi kanan halaman naskahku. Sebenarnya bisa saja aku berbahasa lisan dengan sang hantu, tetapi takut dipergoki ibu kost-ku dan dicap sinting. Biarlah, lebih aman dengan menulis saja, pikirku.

 

"Tidak penting aku editor atau bukan. Yang terpenting kamu penulis atau bukan?" Lagi-lagi si hantu menohok dengan tajam.

 

"Tentu lah. Lihat aku mengetik, kan? Mengetik berarti menulis di komputer. Orang yang menulis itu memang seorang penulis, kan?" Aku mengetik dengan serabutan, typo-typo kontan berhamburan, yang segera kupangkas rapi sebelum menekan tombol ENTER.


Gengsi dong bikin typo di depan seorang hantu, pikirku dengan absurd.

 

"Hahaha! Salah besar! Penulis itu seniman aksara, berkarya dengan menulis. Namun orang yang menulis tidak otomatis menjadi penulis, tahu?"

 

Gile, galak benar hantu keparat ini. Aku mengomel dalam hati. Tanpa sadar aku mengucap doa, semoga hantu tak diundang ini tidak sakti mandraguna, dalam artian tidak dapat membaca isi pikiranku. Aku tidak besar kepala, tetapi kiamat total kalau si editor setan bisa membajak kepalaku yang isinya tak seberapa ini.

 

"Ya, setidaknya bukuku sudah tiga kali terbit, meski secara terbit mandiri, sih." Jati diriku tiba-tiba goncang, dipertanyakan oleh sesosok orang, eh, bukan, hantu asing. Masakan menjadi penulis gagal saja aku tak sanggup. Enak saja kau.

 

"Penulis baru disebut penulis bila karyanya memiliki audiens yang luas, artinya pembaca yang menyukai buku yang ditulisnya itu. Memang bukumu ada dibaca orang? Aku yakin kau bahkan tidak punya beta readers. Hahahaha."

 

Sialan, hantu ini bahkan tahu soal Aib-Si-Penulis-Kuper, demikian judul lembar hitam dalam catatan hidupku. Benar, mana mungkin aku punya beta readers, sebutan untuk pembaca pertama sebuah naskah yang masih perawan, dalam artian polos mulus tanpa jamahan tangan si editor. Wong sebiji teman pun aku tak punya. Benar-benar friendless, kecuali si L yang berpredikat teman maya bisa masuk hitungan. Bila demikian, si L adalah temanku semata wayang. Alamak!

Lihat selengkapnya