Lindur Ungu

Silvia
Chapter #6

Roti-Roti Pak Nas

Bulu kudukku meremang. Buaya-buaya di sekelilingku menyeringai, gigi-gigi sangar dengan mata yang mengerling tajam. Reptil ganas keturunan prasejarah itu siap menyergap mangsanya yang tak berdaya, yakni aku. Di kejauhan, beberapa ekor harimau dan macan tutul memasang pose siaga, siap melumat tubuhku yang kurus, apabila aku mujur lolos dari terkaman mulut buaya. Udara dingin semakin membunuh keberanianku, tak heran hawa dingin selalu berkaitan dengan rasa horor.

 

Horor semakin sempurna tatkala telapak tangan besar mencengkeram pundakku. Aku terlonjak sangat kaget, tak mengira pria itu datang dari arah belakang. Sekujur tubuhku seperti terguyur air es, pundakku pasti menggigil hebat dan si pria merasakan ketakutanku.

 

"Maaf, Adik pasti dikagetkan oleh Kanda. Maafkan sekali, yah." Terdengar suara pria yang terlalu dilembut-lembutkan. Aku berpaling dari hadapan hewan buas hanya untuk mendapati wajah yang lebih meneror, senyum Pak Nas yang GANAS, akronim dari gatal dan panas. Bergidik bulu romaku memandang lelaki berwajah genit ini.

 

Pak Nas memandangiku dari ubun-ubun sampai ujung kaki, seakan siap mengulitiku hidup-hidup. Matanya membelangah seperti kuali hitam di dapur roti, bibirnya mengerucut berbentuk siulan kagum. "Hari ini Adik tampil sangat beda. Cantik sekali." Pujian manis itu membuat tubuhku lengket sebab berpeluh, keringat dingin di tengah ruangan yang terlalu dingin.

 

"Oh ya? Makasih." Aku memaksakan seulas senyum kaku, mencuri-curi lirikan ke arah hewan-hewan awetan di sekeliling kami. Buaya-buaya yang sudah mendiang itu masih menyeringai lebar, bila dilihat-lihat tidak berbeda dengan wajah pemiliknya, Pak Nas, tokoh yang disapa Babeh meski usianya baru 42 tahun, lantaran disegani oleh warga sekitar.

 

Ini gara-gara Bu Soek. Dengan memaksa ia mendandaniku dengan aneh-aneh. Memakaikan baju bekas milik putrinya yang sudah menikah, baju berenda motif kembang-kembang dengan rok panjang, lalu memulaskan gincunya yang semerah bulu angry bird ditimpakan dengan pupur tebal yang membuat mukaku serasa berdempul. Masih belum cukup, ia mengepang rambut ikalku yang liar dan membubuhkan gambar alis setebal tokoh kartun si Sin-chan. Alhasil, aku ibarat badut perempuan kikuk, tersiksa oleh kostumku sendiri.

 

Padahal, sebagai perempuan feminis, aku jarang bersolek, bergincu saja hampir tak pernah, kesukaanku berkaus oblong dan celana jins dengan wajah polos a la gadis tomboy. Bila saja rambutku tidak ikal dan tergerai panjang, tentu tampilanku tidak berbeda dengan lelaki kebanyakan. Rasanya aneh, memakai rok berumbai-rumbai, menaiki angkot yang disewa Bu Suk untuk mengantarkan 100 potong roti apel pesanan Pak Nas. Ada maksud apa ini?

 

Lihat selengkapnya