Rok rumbai-rumbai membuat langkahku kikuk bin gugup. Nyaris aku terjatuh saat melangkahi ambang toko, tersandung ujung rokku sendiri. Bahkan renda-renda blus yang kupakai tersangkut paku, yang gunanya untuk menggantungkan gelang karet di dekat pintu masuk.
Sementara aku sibuk menarik-narik renda blus, omelan Bu Soek menyambutku, bagaikan petikan lagu merdu, sapaan selamat datang yang "ramah menegur tamu".
"Tampangnya saja orang kaya, nyatanya apa? Belanja cuma sepotong roti nanas, tapi lagaknya setinggi langit. Pakai tutup-tutup hidung segala. Sok nyonya besar. Memang toko roti ini bau atau bagaimana? Sombong!" Bu Soek menyembur, walau dilanda amarah tetap tidak lupa berbahasa Indonesia yang dicanggih-canggihkan.
Buru-buru kusembunyikan senyumku yang terpampang lebar. Lega karena kemarahan Bu Soek tidak terarah padaku, dan aku tahu kehadiran si Bentley adalah suatu kecelakaan, dalam tanda kutip tentunya. Agaknya perempuan kaya itu kelaparan dan tersasar masuk toko roti masam ini. Hahaha, Kesan pertama yang membawa rasa kapok, pasti berjuta rasanya.
Bu Soek menginterogasiku soal kunjungan ke rumah Pak Nas. Tentu aku tidak melapor soal hadiah spesial dari Sang Babeh. Biarlah rahasia ini tersimpan di balik lapisan rok rumbai-rumbaiku. Aneh, Bu Soek malah tampak kecewa saat tahu Pak Nas tidak berkata apa-apa.
"Nak, Ini gajimu bulan ini." Amplop tebal dari Pak Nas berpindah tangan, berganti sehelai amplop tipis berisi gajiku yang kian menyusut, kian tipis karena disunat untuk cicilan utang kepada Bu Soek-ku tersayang. Sebetulnya ini bukan gaji, tetapi komisi penjualan roti yang kian hari kian berkurang. Tanpa order dari Pak Nas dan Bu Aya, mungkin toko Bu Soek sudah lama pailit, eh, bukan, gulung tikar.
Bu Soek mengelap wajahnya yang berpeluh. Wajah itu tetap masam dengan profil yang serba gemuk, tubuhnya gempal, parasnya bundar dengan hidung bulat ala jambu monyet, bahkan rambutnya juga gemuk, jauh lebih megar dari rambut ikalku yang pembangkang. Saat mencela rambutku, agaknya Bu Soek lupa bercermin dan kurang mawas diri.
Tertular Bu Soek, aku ikut mengusap peluh yang merayapi tengkukku. Toko Roti Tamar Indri memang pengap, terlebih roti-roti masam menyesaki rak toko, didukung cuaca siang yang gerah, membuatku tak sabar menunggu malam hari tiba. "Kostum badutku", baju berenda dengan rok berumbai-rumbai kian "berbobot", berat dibasahi keringatku yang mengucur cukup banyak. Mau bersalin baju tapi kok tanggung, aku merutuk dengan murung.
Tak terasa malam kembali menyapa. Aku menggulung kerai jendela toko roti, yang bertuliskan WELCOME, bersiap menutup toko untuk hari ini. Sayup-sayup terdengar perbincangan dua lelaki yang saling memanggil dengan sapaan "Bro". Aku tahu, itu dua mahasiswa biang gosip yang indekost di gang sebelah. Setiap malam mereka nongkrong di warung kopi Bu Soek, yang menyatu dengan rumah Bu Soek, persis di sebelah toko roti, rumah kayu nyatoh satu lantai yang lebih sederhana dari rumah kost yang kudiami.
"Bro, lo lihat gak mobil Bentley tadi? Ini tandanya si bapak konglomerat itu serius dengan proyek besarnya." Mahasiswa yang kujuluki sebagai Bro no.1 angkat suara.
Aku segera berjingkat-jingkat maju ke teras toko, menempelkan telinga di tembok tripleks yang tidak seberapa tebal.
"Dipta Harsana maksud lu, Bro? Yang ambisius mau bangun Digital Hub terbesar se Asia itu?" Si Bro no.2 menimpali. Telingaku semakin rapat menempel pada tembok tripleks.
"Persis." Suara si Bro no.1 mendesis, terdengar suara tegukan kopi pahit yang menemani mereka meramu gosip. Konon, dua mahasiswa itu mengelola buletin gosip di kampus mereka, oplahnya cukup lumayan, membahas mulai dari gosip kecil hingga tingkat yang tersadis. Aku beruntung, selalu menemukan gosip terhangat dari perbincangan malam mereka.
"Ini gosip tersadis di abad ini, Bro. Bayangin aja, kalo proyek Digital Hub beneran jadi, wilayah gang ini pasti habis, kena gusuran istilahnya. Boleh jadi juga membabat taman hutan yang jadi paru-paru kota. Denger-denger nih, area gang elit sekitar rumah Babeh juga kena gusuran. Kurang heboh apa coba?"