Lindur Ungu

Silvia
Chapter #8

Vaniti Impresa Ronde Tiga

Pagi ini, terjadi kehebohan besar di Gang Duren, nama gang tercinta yang kudiami dengan damai sentosa. Mobil Bentley berwarna merah mentereng terparkir di depan toko roti Tamar Indri. Tampak depan, si mobil keren itu seperti Pak Kumis yang menyeringai. Betapa tidak, si pemilik mobil mendandani bumper depan dengan gambar kumis dan gigi-gigi tonggos berwarna keemasan. Klakson mobil menyalak dengan pongah, seakan ingin seisi dunia tahu, ada mobil tampan nan nyentrik mampir di sini.

 

Kami berdecak kagum. Pintu mobil terbuka dengan penuh gaya, menampakkan sosok lelaki yang membusungkan dada. Jasnya tampak mahal dengan wajah tertutup topi lebar. Dengan sombong, jemarinya menjentik-jentik debu pada jas, lalu bersiul keras. Sesaat kemudian, anak buahnya memanggul sebentuk benda mirip wajan raksasa, warnanya putih dan berantena bak sungut lebah. Si lelaki melepas topi dan melontarkannya dengan keras, tepat menimpa wajah bundar Bu Soek, yang asyik masyuk mematut diri pada cermin kecil.

 

"Halo, Adik Ungu. Dinda, how are you today?" Si lelaki membungkuk dan mencium punggung tanganku dengan khidmat.

 

Orang yang berkerumun berbisik-bisik kaget. Babeh. Itu babeh. Aku tidak kalah terperangah. Wah, Pak Nas tampak sangat tampan dengan tampilan perlente. Sayang, saat tersenyum, gigi-gigi emasnya terlalu sangar, mengingatkanku pada tokoh bandit film Home Alone. "Eh, fine, thank you." Aku menjawab dengan senyum ketakutan ala Macaulay Culkin.

 

Pak Nas tertawa dibuat-buat, berusaha terlihat tampan paripurna. Jemarinya menjentik, lantas mempersembahkan wajan putih raksasa di tanganku. "Terimalah tanda cinta Kanda. Ini penangkap sinyal Wifi terhebat sejagat angkasa. Jangankan di Gang Duren, Seisi Kampoeng Doekoe pun bisa mendapat Wifi gratis. Tis, tis, tis." Gelegar suara Pak Nas disambut sorakan gembira warga sekitar.

 

"Eh, makasih pak." Mau tak mau aku tertawa semringah. Senyum Pak Nas tersungging, semakin ingin berlagak tampan. Aku balas tersenyum, hingga akhirnya pipiku ngilu karena kami terus berbalas senyum.

 

"Dinda berterimakasih terlalu cepat. Hadiah yang sebenarnya ada di belakang sana. Terimalah, Dik." Pak Nas mengayunkan tangan sok dramatis, meniru gaya khas pesulap jalanan. Namun, ajaib, petikan jemarinya mendatangkan sebuah mobil bak terbuka yang mengangkut benda raksasa.

 

Wah, luar biasa, itu roti buaya raksasa, besar seperti tubuh buaya purba, mungkin enam meter panjangnya, warnanya cokelat tua dan tampak menggiurkan. Penghuni Gang Duren melongok penuh ingin tahu, sebagian meneguk air liur, sebagian lagi menunjuk-nunjuk dengan penuh nafsu.

 

Belum habis kekagumanku, terjadi sebuah kejutan lainnya. Roti buaya itu menggeliat, lantas melompat dan menerkam tubuhku, tak pelak tubuh kurus ini tertelan bulat-bulat di dalam perut buaya purba yang berpura-pura menjadi sepotong roti. Sebelum kesadaranku lenyap, sempat kudengar tawa Pak Nas yang terbahak-bahak, tawa kepuasan yang kian lama kian redup. Pandangan mataku berangsur gelap, segalanya menjadi tiada.

Lihat selengkapnya