Harapanku seketika melambung tinggi. Teringat lamaran kerjaku yang selalu bertepuk sebelah tangan. Tak pelak suaraku bergetar meski sudah kuatur sedemikian rupa. Riak perasaan yang bergelombang memang tak bisa bohong, aku jelas sangat gugup. "Eh, iya ... Benar ... Saya Lindur Ungu. Apakah Ibu dari Bank Sindhuri?" Alamak, apakah kali ini lamaran kerjaku diterima?
Dua bulan yang lalu, aku mengirim berkas lamaran kerja ke Bank Sindhuri, melamar sebagai staf bagian kliring. Aku hanya iseng, ada keyakinan tidak diterima, sambil lalu menanggapi lowongan kerja online yang mampir di akun sosmed-ku. Maklum, aku hanya mengantungi ijazah SMP. Sebetulnya aku menamatkan SMA, tetapi ijazahku disandera lantaran menunggak biaya ujian akhir. Saat hendak melunasi tunggakan, sekolah sudah ditutup karena masalah perizinan. Alhasil aku gigit jari dan pulang tanpa hasil.
"Bukan, Mbak. Saya dari Harian Swara Petang. Maaf, Mbak Lindur Ungu berlangganan Swara Petang, bukan?" Suara merdu si perempuan melambat, agak ragu karena tanggapanku sangat di luar dugaan.
Ah, astaga, benar sekali, Harian Swara Petang adalah koran sore kesayangan Bu Soek. Induk semangku itu berlangganan atas namaku karena si ibu malas mengurus sendiri tetek bengek berlangganan. Aku tersadar telah melalaikan sebuah kewajiban.
"Oh iya, Ibu, maaf saya lupa membayar untuk memperpanjang masa langganan." Suaraku melemah seperti balon kuncup yang kuyu. Ah, nasib belum berbaik hati memberiku perkecualian, hari ini sama saja dengan yang sudah-sudah, hanya diisi dengan kemuraman dan harapan palsu.
"Maaf sekali lagi, Mbak. Saya bukan dari bagian penagihan, saya bertugas melakukan survey kepuasan pelanggan. Maka itu saya menghubungi nomor telepon pelanggan yang terpilih secara acak. Kebetulan Mbak Lindur Ungu salah satu yang beruntung. Bersediakah Mbak meluangkan waktu untuk menjawab survey ini?"
Aha, pelanggan yang beruntung? Segera terbayang goodie bag berisi kaus dan topi berlogo Swara Petang. Lumayanlah. Aku segera mendeham, mengatur intonasi suaraku agar terdengar lebih ceria. "Boleh, Mbak. Maaf, mau tanya, bila saya menjawab survey, apakah ada hadiah goodie bag seperti biasa? Kebetulan tetangga saya pernah ikut survey tertulis dan dikirimi hadiah kaus dan topi."
Si perempuan bersuara merdu tertawa renyah. Aku sedikit menyesal bertanya seperti itu, mungkin si Ibu bersuara empuk menganggap aku matre, hanya mengejar hadiah yang nilainya tak seberapa bagi sebagian orang. Namun kalimat berikutnya membuat semangatku kembali terangkat.
"Pasti kami menyediakan hadiah untuk pelanggan yang terpilih, Mbak. Boleh survey-nya saya mulai, Mbak?" Tentu si ibu dari surat kabar ini tidak ditugaskan untuk berbasa-basi dengan pelanggannya.
"Silakan, Bu." Demi iming-iming goodie bag, kurelakan sarapan pagiku tidak tuntas. Ah, hanya tersisa dua suap bubur roti. Tidak apalah, toh rasanya masam dan merusak seleraku yang biasanya tak banyak menuntut.
Pertanyaan demi pertanyaan kujawab dengan tangkas. Hingga sebuah pertanyaan membuatku termenung cukup lama. "Pendidikan terakhir Mbak Lindur Ungu apa?" Pertanyaan yang sebetulnya klasik dan wajib ada di setiap survey pelanggan.