Help! Sesaat pandangan mataku tertutupi warna-warni pelangi. Tanganku meraba-raba, mendapati alat pengusir lalat dari rumbai tali rafia bercokol di kepalaku. Terdengar jeritan kaget seorang gadis, melengking bak peluit juru parkir, menyibak tali warna-warni yang tersangkut di antara helaian ikal rambutku. "Ah!" Aku menjerit karena si gadis tanpa sengaja menjambak rambutku.
"Waduh, maap. Maap ya, ini lalatnya datang dari kiri, kanan, depan, belakang, terus berdatangan. Mana di ujung rumbai kuolesi lem lalat, jadi lengket dah. Maap banget." Si gadis bicara beruntun seperti ocehan tukang parkir. Tanpa sengaja ia kembali menjenggut rambutku yang malang.
Setelah berjibaku beberapa saat, rumbai tali rafia berhasil dibebaskan dari rambutku, yang tampak kian megar karena terjambak sana-sini. Gadis penjaga toko terus meminta maaf karena alat pengusir lalat itu terlempar tepat saat aku masuk ke dalam toko. "Maap, tadi alatnya kuayun terlalu kencang, eh jadi lepas dari tanganku. Maap ya." Tangan si gadis sibuk memperagakan bagaimana ia memakai alat yang nyaris mencelakai kepalaku itu.
Si gadis tidak berbohong, toko ini memang dikenal sebagai sarang lalat. Lalat-lalat hijau ukuran jumbo merajalela, menguasai tiap sudut toko. Tak aneh bila lalat itu harus diusir dengan cara luar biasa, dengan senjata alat pengusir lalat ukuran super, berupa tongkat berumbai tali rafia warna-warni menyerupai rok hawaii ukuran XXL, di ujung rumbai masih perlu dioleskan lem lalat yang lengket.
"Tidak apa-apa, Mbak." Aku memaafkan gadis itu dengan senyuman. "Mbak, selai buah Tengix komplit ya semua varian, lalu sambal teri Terik stoknya ready kan?" Aku memeriksa daftar belanjaan titipan Bu Soek, di deret atas ada bahan baku untuk pasokan dapur roti dan dapur warung kopi.
"Waduh, maap. Sambal teri cap Terik kosong, adanya merek baru, cap Teritip dan cap Teripang. Tapi agak mahalan. Yang murah sih ada, Non, yg merek Terindjak, cuma baunya, hehehe, mengundang lalat. Mau?" Si gadis kembali mengayunkan tongkat rumbai, mengusir lalat yang mengincar tong selai buah dan toples sambal teri yang ditutup seadanya.
"Boleh deh, Mbak." Prinsip Bu Soek, kualitas itu prioritas ke sekian, yang terpenting harganya miring. Filosofi kikir Bu Soek berakibat nasibku sebagai tukang belanja yang prihatin lahir dan batin. Tentu bukan salahku bila roti dan makanan warung milik Bu Soek kian "busuk" mutunya. Ada harga ada rasa enak, aku membatin.
Si penjaga toko melayaniku dengan tangkas, aku pun berbaik hati membantu mengusir lalat, sementara ia membungkus pesanan Bu Soek yang luar biasa banyak jenisnya. Tak lupa aku membeli keju murah merek Kety Betsy. Pantas keju itu kecut, namanya mengingatkan pada ketiak alias aroma keringat yang masam tidak kepalang.
"Ini bonnya, Non." Tak pelak aku terbelalak, karena harga yang tertera tidak sesuai dengan anggaran. Ah, biasanya toko ini memberi harga sangat murah untuk Tamar Indri, toko roti kecut kebanggaan Bu Soek, maka parasku yang masam memberi teguran pada si pegawai toko.
"Gak bisa lebih murah, Mbak. Kami sudah langganan, Mbak." Aku mulai melancarkan jurus negosiasiku yang cukup maut.
"Waduh, maap ya Non. Pesan dari nyonya bos, gak bisa. Ini sudah paling murah untuk Tamar Indri. Harga barang naik tajam, Non. Maap sekali lagi." Gadis penjaga toko memaksaku untuk memaafkannya sekali lagi.
Dengan muram, aku keluar dari toko sarang lalat, berharap Bu Soek mengobral kata maaf untukku. Tas selempangku menggembung, diisi koran dan sebagian belanjaan Bu Soek, sebagian lagi kutenteng dalam kantung hitam yang berbau mirip kotoran kuda. Langkahku kian gontai seperti Sakura si kuda uzur. Seandainya lantai yang kupijak ini adalah sebidang lautan, mungkin aku sudah tenggelam sejak lama. Berat nian beban yang menghukumku ini. Misiku menjadi kian impossible!