Lindur Ungu

Silvia
Chapter #11

Rumah Walanda

Malam selalu berbaik hati terhadap manusianya. Sebagai pengagum malam aku merasakan kebenaran itu. Ehm, jangan menyebutku makhluk malam, karena kata "makhluk" memberiku rasa tidak nyaman. Dingin malam menghadirkan pikiran yang bersih. Inspirasi menghampiri tanpa dicari-cari, tak pelak malam menjadi sahabatku yang terbaik.

 

Siklus tubuhku berjalan abnormal malam ini. Jam biologisku tidak protes, meskipun saat ini pukul sebelas malam dan aku sedang berjalan di luar rumah. Normalnya jam tujuh malam aku sudah tertidur, melupakan lapar akibat makan malam tak mencukupi. Lantas aku akan terbangun di malam buta atau pagi buta, merasakan aliran janggal di sekujur kepalaku. Ilham berdatangan, membeludak seperti arus sungai yang bergemuruh.

 

Sambil mengayun langkah, kuhayati bau pinus, nanas dan apel yang menjadi aroma malam Kampoeng Doekoe. Lucu, bebauan sedap itu malah terasa angker. Konon, harum nanas, apel, pinus, dan rumput adalah aroma pembusukan jasad manusia. Setidaknya itu yang kuketahui dari hasil mengintai isi buku bekas di toko loak Pasar Sumur. Namun heran, nyaliku malah semakin tegas, dengan mantap menghampiri Rumah Walanda yang terlarang. Rasa kenyang menyantap apel merah memberi semangat baru, dalam pencarian misteri di suatu kampung perkotaan yang memancarkan aura tua.

 

Seingatku, Rumah Walanda hanya berjarak 100 meter dari Jalan Anggana. Boleh dikata aku tumbuh besar di Kampoeng Doekoe, dan Jalan Anggana menjadi kediamanku selama 15 tahun penuh. Mendiang ayahku bekerja sebagai supir pribadi Pak Sat dan Bu Soek. Dulu, mereka adalah pasangan yang berkecukupan kaya raya, sebelum kegilaan Bu Soek berjudi togel membangkrutkan usaha Pak Sat sebagai distributor minyak gaharu. Statusku adalah anak asuh Pak Sat dan Bu Soek, meskipun aku tetap menganggap mereka sebagai bapak dan induk semang.

 

Langkah kakiku terbata, sebuah rumah bergaya kolonial Belanda terpampang di hadapanku. Rumah tusuk sate yang tidak angker. Itu bekas kediaman Pak Sat dan Bu Soek sebelum bangkrut. Rumah megah yang telah direstorasi berulang kali, tidak membuang cita rasa tua yang elegan.

 

Aku terdiam, air mataku jatuh membaui aroma ibu. Kenangan akan ibuku hidup di dalam rumah itu. Pena Wuri adalah nama ibu yang kucintai, seperti beliau juga mencintai tanaman cemara angin yang rimbun tumbuh di halaman rumah tusuk sate. Aroma kerinduan memanggil semakin lantang. Kututup telingaku, mempercepat ayunan kaki, menjauhi kenangan yang tidak ingin kembali kuingat.


Nostalgia itu cuma pantas untuk manusia-manusia cengeng! Kurutuk diriku dan air mataku yang nyaris jatuh.


Malam berbulan pucat menampilkan Rumah Walanda yang misterius. Bulan sabit menggantung di pucuk atap rumah, bagaikan membentuk tanda tanya membesar. Aku kian terpanggil untuk menyibak tabir misteri, dosa apa yang mengutuk rumah besar itu, hingga dianggap bagai tabu di Kampoeng Doekoe?

Lihat selengkapnya