Lindur Ungu

Silvia
Chapter #12

Vaniti Impresa Ronde Empat

Darah kami tersirap, tercekam menyaksikan sosok baju hitam menelikung Abimanyu dari belakang. Pemuda yang kusapa Bro no. 1 memekik seperti jeritan anak gadis, sementara aku hanya mampu memilin ujung kaus dengan gugup. Seorang pemuda kekar yang berdiri dekat podium berlari, bukan untuk menolong Abimanyu, tetapi ngacir menyelamatkan diri sendiri.

 

Pekik jerit kami terbungkam saat Abimanyu terkikih kegelian. Hah? Rasanya mata kami berilusi melihat Abimanyu bergelut dengan sosok hitam yang terus menggelitiki tubuhnya. "Stop, Bro. Keterlaluan lu, Bro. Bercanda juga jangan segila ini, dong!" Abimanyu sia-sia mengelak dari serangan nakal si baju hitam.

 

"Sia-sia gue ngerancang muslihat ini seharian, lu bisa juga ngebongkar penyamaran gue ya." Sosok yang menyerupai pria ningrat Eropa tempo doeloe itu menyerocos dalam bahasa gaul. Di telingaku, suaranya terdengar tidak asing. Dugaanku terbukti benar ketika si pria misterius membuka penyamarannya. Itu si Bro no. 2, sekutu setia Bro no. 1 dan juga Abimanyu. Kontan Bro no. 1 cekikikan, tak menduga sang sahabat menyiapkan kejutan yang mendebarkan.

 

Sekelompok pemuda mengeroyok Bro no. 2, menggelitiki si hantu jadi-jadian hingga jatuh terpingkal-pingkal. Ini Halloween yang kepagian. Entah dari mana Si Bro no. 2 menyewa kostum "angker" yang terkesan seperti Jack The Ripper setengah jadi. Di bawah cahaya terang, atributnya yang hitam dan tertutup justru membuatnya lucu, sekilas mirip ninja dadakan yang salah tingkah.

 

Alhasil kami semua pulang dengan membawa hati campur aduk. Muslihat Bro no. 2 sama sekali tidak lucu, justru meninggalkan perasaan kurang nyaman. Keberadaan Rumah Walanda sudah dibayangi sejarah hitam, kini sosok hitam menegaskan aura suram itu. Meski bukan hantu yang sesungguhnya, kami khawatir kutukan tabu betul-betul menjadi hidup. Benarkah rumah yang menyimpan cerita kelam dapat menyelamatkan seisi Kampoeng Doekoe?

 

Tidurku yang hanya berlangsung empat jam diisi kolase gambar-gambar muram. Taman Rumah Walanda yang terbengkalai. Rumah yang semestinya pantas menjadi kebanggaan sejarah, terlupakan karena hawanya dianggap "tidak bersih". Sebuah rumah yang bermuka ganda, di satu sisi tampak menyerupai kapal laut, di sisi yang lain nampak seperti istana pasir. Meski tidak terurus, rumah itu tidak buruk rupa, menyisakan warna kuning tanah liat yang cantik berpadu merah batu bata dan hitam batu kali yang menawan. Dalam mimpiku, sosok Carel de Groot dan istri jelitanya hidup dan memainkan sandiwara cinta yang memilukan.

 

Pekik sirene menyentakku dari tidur yang tak nyaman. Aku terheran darimana suara sirene itu berasal. Mimpi murungku buyar, menyadarkan bahwa Abimanyu dan kami, warga Kampoeng Doekoe, adalah kumpulan pemimpi. Memperjuangkan Rumah Walanda sebagai bangunan cagar budaya dan menjadikan Kampoeng Doekoe sebagai kampung cagar budaya. Ah, mustahil. Sebagai perempuan realistis aku tahu, Dipta Harsana si konglomerat akan menang. Saat uang dan kuasa saling bersepakat, segalanya akan tamat. Kau, aku, the end.

 

Tepat saat pintu kamar kubuka, suara sirene menghilang. Penasaran, aku berjalan ke ruang tengah, hanya untuk mendapati horor yang tidak basa-basi. Komputer antik milikku menyala, tampak sebatang kaktus berbunga ungu, tinggi dan menyendiri di tengah gurun pasir. Di sisi kaktus terpampang countdown timer yang menunjukkan waktu hitung mundur. Bila dugaanku tak meleset, ini hitung mundur menuju waktu kumpul tugas. Si hantu betina seperti tokoh utama film Janji Joni, setia memegang janjinya sendiri.

 

Aku menoleh ke segala arah, berharap Bu Soek belum sempat menampakkan diri. Setelah gagal mematikan layar monitor, kuambil secarik gombal dan kututupi muka komputer seperti gadis bercadar. Ah, gawat, kain gombal terlalu tipis, gambar kaktus ungu masih menerawang. Segera kucari secarik karton bekas, tulisan KOMPUTER RUSAK kutempel di monitor bagian depan. Beres sudah. Bu Soek pasti tidak bakal mengganggu gugat komputer ini.

 

Suntuk hebat menyerangku saat duduk menjaga toko roti. Kepalaku terangguk di atas meja etalase, beberapa kali nyaris tertidur. Aku bisa menebak, countdown timer di komputer pasti menunjukkan 11 jam tersisa menuju pukul 12.30 WIB, malam buta yang disepakati bersama, waktu mengumpulkan tugas dari si editor hantu yang "tercinta". Gawat, riwayat hidup Gemawan Ardaya baru setengah jadi. Entah bagaimana, inspirasiku kembali menyelinap pergi.

 

Pada akhirnya, aku tertidur ayam di atas meja kaca. Jam makan siang sudah lewat. Toko sangat sepi, bahkan tidak disambangi seekor nyamuk pun. Dalam mimpi aku menulis, melanjutkan riwayat Gemawan Ardaya yang belum rampung. Untunglah Bu Soek jarang singgah dalam mimpiku, karena aku yakin Bu Soek tidak merestuiku menulis, bahkan di dalam alam tidur sekalipun.

 

"Permisi, Mbak Ungu." Colekan halus menarikku bangun, terpatahlah mimpi yang mengasyikkan itu. Perempuan berparas lembut menyapaku, itu Bu Aya, salah satu pelanggan besar yang ramah dan juga pemurah. "Mbak Ungu sendirian saja? Bu Soek sedang di warung ya?" Senyumnya mengembang, seolah memaklumi kebosananku menjaga toko yang sunyi senyap.

 

"Iya Bu, maaf jadi tertidur sebentar." Aku menggeliat, kembali bersemangat karena Bu Aya selalu menjadi penyelamat di saat yang tepat. Tidak seperti Pak Nas, Bu Aya tidak pernah membuat pesanan khusus dan memborong roti apa saja yang ada. Kami tahu, Bu Aya hendak menghibahkan roti-roti masam untuk amal.

 

Seperti biasa, Bu Aya mengosongkan stok roti di toko Tamar Indri dan sekaligus menghadiahkan uang tips yang lumayan besar untukku. "Kembaliannya untuk Mbak Ungu saja." Senyumnya terus mengembang. Tidak hanya murah senyum, Bu Aya juga murah hati dan cantik parasnya. Wanita 33 tahun yang belum menikah itu pernah digunjingkan dekat dengan Pak Nas. Entah kenapa mereka tidak berjodoh, padahal bisik-bisik di Kampoeng Doekoe santer menjodohkan mereka sebagai pasangan serasi.

 

Lihat selengkapnya