Lindur Ungu

Silvia
Chapter #13

Roti-Roti Buaya

Selepas berurusan dengan WC, aku memutuskan menarik napas sejenak dalam kamar tersayang. Sekujur tubuhku lemas, maka tanpa sadar aku tertidur setengah lelap, lupa sama sekali dengan kelas menulis yang sebetulnya belum usai. Rasa lelah yang kualami cukup ganjil, aku nyaris tak dapat bergerak, tetapi juga tak mampu tidur lelap. Mungkinkah ini semacam gejala ketindihan?

 

Dalam situasi setengah bermimpi, aku mendengar suara benda berat yang diseret, lalu kudengar suara beberapa pria menuruni tangga, langkah mereka keras-keras seakan membopong benda ukuran besar. Terdengar suara mereka yang sangat dekat dengan telingaku. "Aduh, berat! Hati-hati, pelan-pelan saja!"

 

Aku sangat ingin beranjak dari ranjang, lalu mengintip dari celah pintu. Tapi tubuhku tidak menurut, aku lumpuh dan terpaku di atas ranjang. Tambahan pula dadaku terasa sesak, setengah mati aku berjuang menarik udara, mengisi paru-paruku yang kuncup bak sepucuk payung yang terlipat.

 

Seakan bermimpi, aku merasa Bu Soek membuka pintu kamarku. Senyumnya masam melihatku tampak tidur pulas. Heran, mataku yang sebetulnya terpejam bisa melihat bagaimana Bu Soek mengangguk puas dan menutup kembali pintu. Sesaat kemudian terdengar bunyi KLIK, menandakan pintu dikunci dari luar. Tanganku menggapai-gapai, protes menjadi tahanan kamar. Namun, aku tetap terpaku di tempat, tidak berdaya apa-apa.

 

"Masih tidur, Beh. Sepertinya lemas karena ke belakang terus." Telingaku dapat menjangkau suara Bu Soek, yang tampaknya ada di ruang tamu. Aneh, tamu agung mana yang dijamu Bu Soek di ruang tamu rumah kost. Biasanya Bu Soek menerima tamu di rumah sebelah, rumah kayu nyatoh satu lantai yang merupakan kediamannya. Hidungku bahkan membaui dupa gaharu yang menusuk, juga menangkap suara seorang pria yang batuk-batuk.

 

"Syukurlah kita berbicara di sini, Beh. Suami saya tidak boleh tahu masalah ini. Meski dia duduk di kursi roda semenjak terserang stroke, pikirannya masih sangat sadar. Dia pasti marah besar bila kedapatan saya berbuat begini." Sekilas terdengar bunyi cling-cling, menandakan Bu Soek mengenakan gelang keroncong yang berbaris rapi di kedua belah lengan gemuknya.

 

"Saya tahu Bang Sat, eh, maksud saya Pak Sat sangat sayang pada Adik Ungu. Namun perbuatan kita juga tidak salah. Saya serius dengan Adik Ungu. Maka itu roti buaya sedang diangkut ke sini." Pria lawan bicara Bu Soek bertutur dengan khidmat. Suaranya terdengar akrab, menyerupai suara Pak Nas. Sapaan "Beh" menguatkan dugaanku, si Juragan Buaya itu sedang menyambangi Bu Soek, kroni setianya.

 

"Lalu perjanjian kita bagaimana, Beh? Surat-surat tanah dan rumah itu..." Suara Bu Soek menipis, sesaat tidak terdengar di antara batuk-batuk Pak Nas alias Babeh. Dupa gaharu nan aduhai menjadi sebab musabab batuk si Babeh. Bahkan aku pun merasa kliyengan mencium bau mirip nyong-nyong itu, mungkin karena tubuhku sedang kurang fit, padahal posisiku sedang terbaring.

 

"Hohoho, jangan cemas Bu. Setelah saya turun dari pelaminan, akan saya serahkan semuanya pada Ibu. Semuanya lunas, nas, nas, seperti nama saya, Nas. Okay?" Tidak salah lagi, suara itu memang milik Pak Nas, yang terbatuk-batuk seru mirip berondongan senapan angin.

 

"Baiklah. Kita sepakat ya, Beh. Ah, sebenarnya saya merasa berat. Nak Ungu itu anak baik dan jujur, perannya juga penting di toko roti saya. Tapi apa lacur, terlanjur sudah, oh, terlanjur sudah..." Bu Soek sesegukan mirip adegan sinetron. Aku menyesal berat tidak bisa mengintip aksi teatrikal Bu Soek, melihatnya meraung, menghamburkan air mata palsu di hadapan Pak Nas yang mungkin cengar-cengir tampan mirip buaya kerasukan.

 

"Sudahlah, Bu. Tidak usah khawatir. Oh iya, omong-omong Dik Ungu tidak apa-apa? Saya sebetulnya tidak tega memasukkan herbal pencahar juga garam inggris ke dalam roti buaya. Takutnya Dik Ungu kenapa-kenapa."

Lihat selengkapnya