Aku mendapati, teh jahe manjur menenangkan pencernaan. Peristaltik ususku yang mengamuk perlahan mengendur. Beruntung kutemukan sepotong jahe di dapur, lekas kuiris-iris dan air rebusannya kuminum selagi hangat. Tubuhku yang menggigil pun berangsur normal. Salah sendiri aku berbuat KEPO hingga tercebur dalam bak mandi, melengkapi hari nahas ini, mulas perut berpadu tubuh lemas dan berbonus piyama basah kuyup. Mantap sudah!
Setelah merasa enakan, aku berpaling pada ponsel tuaku. Aplikasi pesan singkat menampilkan syair cinta dari Pak Nas, yang dikirimkan kemarin malam. Judulnya Sang Pemimpi Tampan. Mau tak mau aku tertawa lemah, lupa dengan gundah dan duka akibat raibnya si komputer uzur.
Sang Pemimpi Tampan, memimpikan Adinda, senyummu bak bulan sabit yang gemilang. Kuberkeliling di segala mata angin, ingin memetik nada cinta untuk Dinda si permata hati. Impian pertama adalah bernyanyi bersamamu. Impian kedua adalah mengalungkan butiran embun di lehermu. Impian ketiga adalah melukiskan pelangi, mengejakan Mejikuhibiniu dengan lugu. Merah Jingga Kuning Hijau Biru Nila Ungu. Kutemukan warna pelangi dalam rona matamu. Ungu adalah namamu, kujadikan warna teranggun ciptaan Yang Maha Agung.
Namun impian di atas segala impian adalah bersanding denganmu di pelaminan abadiah. Kuingin sehidup semati denganmu, bergenggam tangan sejak rambut hitam hingga bersulam uban. Satu, dua, tiga, kelak kita menghitung uban bersama-sama. Sudikah Dinda mengabulkan mimpi Sang Pemimpi Tampan?
Tawa lepasku pecah, kubaca puisi itu berulang-ulang. Terus terang Pak Nas jago juga menggubah puisi. Terutama bait tentang menghitung uban yang sungguh menggelitik. Aku sedikit terenyuh membaca kata-kata cinta nan lucu, karena aku tengah bersiap mengecewakan impian sang Tuan Buaya Tampan. Cinta itu memang buta, karena ia melukai tanpa memandang apalagi memilah ragam dan macamnya bulu.
Lamaran sepihak itu tengah berlangsung. Aku tak bisa menolak, meski juga tak rela menerima. Kalaupun pintu bisa dijebol dan aku punya tenaga untuk turun dan melabrak rombongan Mak Comblang, kekuatanku tetap kalah telak. Percuma saja, aku pasti dibungkam, pasalnya tubuhku yang selampai batangan pena takkan berdaya melawan Bu Soek yang lebih perkasa dari seribu Mak Comblang sekaligus.
Akhirnya aku terkapar pasrah, menghitung detik jarum jam dengan perut kosong yang bersenandung lagu keroncongan. Aku tidak berselera makan meski lapar, maka kuteguk saja oralit buatanku sendiri. Enam sendok teh gula bercampur setengah sendok teh garam dalam satu liter air suam kuku, demikian anjuran dokter dari aplikasi konsultasi kesehatan. Gula dan garam adalah elektrolit, dan gejala lemas yang kualami menandakan tubuhku kekurangan elektrolit akibat diare.
Entah kenapa jemariku tergerak untuk menyentuh ponsel, yang setia melipur sepi. Badan ponsel terasa panas beradu dengan jari-jariku yang dingin. Seperti manusia membutuhkan elektrolit, baterai ponsel juga butuh aliran elektron untuk tetap hidup. Tidak aneh bila ponsel dan manusia menjadi sahabat "sehidup semati", sama-sama merupakan "makhluk listrik", tak terpisahkan dari partikel yang berawalan dengan kata elektro itu.
"Halo Jeng!" Seperti tersengat listrik, aku terlonjak membaca sapaan si L di aplikasi pesan singkat. Kebetulan aku baru saja hendak menyapanya, mengadukan nasib sebagai gadis-pingitan-kawin-paksa ala Sitti Nurbaya. Musibah beruntun menimpaku, mengingat komputerku juga disikat maling edan tepat pada hari ini juga.