L? Apakah ini si L? Hatiku memukul-mukul dengan keras, menggedor rasa penasaran, spontan mengundang praduga yang aneh-aneh. Aku selalu membayangkan si L sebagai perempuan, maka dengan penuh harap kupandangi wajah perempuan pucat ini, berharap ia memperkenalkan diri sebagai L, sahabat chattingku yang misterius.
Kukenang kembali awal perjumpamaanku dengan L, beberapa bulan silam, saat kami bergabung dengan grup WA kepenulisan, sesaat setelah kegagalan buku ketiga yang kuterbitkan secara mandiri. Aku nekat mengambil pahe cepek, paket hemat cetak 100 eksemplar yang akibatnya tragis, uang tabunganku yang sudah susut ludes seketika, bahkan aku berutang pula pada Bu Soek. Jumlahnya tak sedikit dan merongrong gajiku sampai detik ini.
Berkat L, yang berinisiatif menghubungiku secara japri, aku punya kekuatan untuk bangkit dan melupakan kegagalanku yang sudah-sudah. Aku punya utang kata "semangat" dari si L yang amat mengerti isi hatiku itu.
"Kak Lindur Ungu tidak mengenali saya lagi?" Pernyataan si perempuan menyadarkanku, aku salah menduga, dia bukan si L, melainkan seorang kenalan dari masa laluku yang muram. Mungkin ia salah satu teman palsu dari SMA Diraja, yang memasang lagak sok kenal agar diberi potongan harga besar. Huh, gak mutu!
"Maaf, ini siapa ya? Mau beli roti atau sekadar bertamu?" Kupasang lagak peduli-amat-emang-gue-pikirin yang terkesan jual mahal, meskipun harga roti di Toko Tamar Indri sebetulnya amat sangat murah, bahkan cenderung murahan, kalau aku boleh membongkar skandal, eh, bukan, rahasia umum milik Bu Soek. Pssst!
"Ini saya, Kak, teman atau lebih tepatnya adik kelas Kakak di SMP Ratu Widuri. Saya Arya Vati, biasa dipanggil Ti atau Ati." Bibir yang pasi bak selembar kertas buram itu menggenjot memoriku, yang kontan berlari cepat, mundur ke masa Rok Biru Tua yang tidak manis-manis amat, senada dengan masa SMA-ku, Rok Abu Pupus yang justru cenderung kelabu.
Dalam amnesia pun aku takkan lupa nama itu, Arya Vati. Adik kelas yang sebetulnya sebaya denganku. Ia pernah menunda sekolah sampai satu tahun karena kesehatannya terganggu. Anak pucat dan lemah yang selalu kubantu mengerjakan PR-nya. Ucapan terima kasihnya selalu tergagap, "Anu, terima kasih Kak." Semasa SMP, Pak Sat memanjakanku dengan uang saku yang berlebih, maka kubisa-bisakan untuk mentraktir Arya Vati, membelikannya roti apel atau roti nanas di kantin sekolah.
"Roti nanas atau roti apel ya, Kak?" Arya Vati mungil yang berusia 13 tahun berkonsultasi pada kakak kelasnya yang dikiranya selalu serba bisa. Mata letihnya sesaat berbinar menimbang antara dua roti yang sama-sama semerbak.
Akhirnya kubelikan dua roti sekaligus, karena Arya Vati tidak pernah mampu memilih. Roti apel dan roti nanas menjadi pilihan favoritnya. Memilih satu di antara dua adalah dilema besar bagi Arya Vati. Maka kuakhiri keraguannya dengan win-win solution, tanpa kusadari kemurahan hatiku membuatnya kian ragu dan tak mampu menjatuhkan pilihan.
"Kau Arya Vati? Yang susah memilih antara isi nanas dan isi apel, kan?" Tak kusangka, reuni kami berlangsung di toko roti, sementara pertemanan kami bermula di sudut kebun sekolah yang dinaungi beringin tua yang konon angker.
Pagi itu, sepuluh tahun silam, pukul 5.30 di sekolah yang sunyi senyap. Aku termasuk siswa yang datang paling pagi. Rumah Pak Sat yang juga menjadi rumahku terbilang jauh dari sekolah, maka terpaksa aku datang pagi-pagi, untuk menghindari jebakan macet kota megapolitan. Tidak disangka aku yang bermain di kebun sekolah mendapati suara sesegukan dekat pohon yang dituakan karena usianya memang ribuan tahun, konon seperti itu.