Robota berarti budak atau pekerja paksa. Di kemudian hari kosakata rumpun bahasa Slavia ini diserap dalam bahasa Inggris menjadi robot. Pernahkah kalian berpikir, bahwa robot adalah budak di era mesin otomatis? Itulah cerdasnya ras manusia, membalaskan dendam dengan memperbudak robot ciptaannya. Bukankah manusia adalah budak di masa doeloe?
Nah, dulu sekali, aku sempat mencurigai si L sebagai robot chatting atau chat bot. Nasib membuktikan, manusia pun bisa menjadi mesin. I am robot. Akulah robot yang sebenarnya, lebih tepatnya robota, korban dari perbudakan roti Bu Soek nan kejam.
Betapa bahagianya di hari minggu yang indah bekerja rodi selama 12 jam penuh. Berkat bantuan Mbak Wan, roti-roti sedap selesai digarap tepat pukul delapan malam. Sendi-sendi, urat dan ototku sudah tegang sekaku robot. Kakiku yang kujur bak manusia kayu berhasil dipaksakan menaiki tangga, untuk kemudian ambruk di atas kasur dengan bunyi berdebum. Bruk! Habis sudah kekuatanku. Tubuhku kempis selemas roti yang kehilangan raginya.
Aku lekas mengulum kantuk, meski bau ragi masih menghantui benakku. Telinga jenuhku samar-samar mendengar, Mbak Wan sedang mengepel di ruang tamu dan dapur lantai dua. Mbak Wan masih mujur, berkutat di dapur roti hanya dari sore hingga malam, karena wajib menjaga warung kopi dan toko roti sekaligus. Setidaknya Mbak Wan bisa mencuri waktu duduk-duduk cantik, sementa aku berdiri paksa setengah hari berturut-turut, tanpa ampun. Buntu benar nasibku di akhir minggu ini.
Esok hari aku akan menjadi manusia merdeka. Ikrar yang nyaris pupus ditelan kantuk, bila saja aku tidak dikagetkan alarm ganjil yang memekakkan telinga. Aku curiga ini ulah Vaniti Impresa, meski layar laptop tidak menampakkan apa-apa.
Irama lagu mars yang membangunkanku dimainkan seadanya, mirip sepatu lars tentara yang diketuk-ketuk sesuka hati. Sayup-sayup terbisik sepenggal lagu Kopral Jono, oh, Kopral Jono. Terjagalah aku di pagi buta, membayangkan pelarian nekat yang tak berani kuangankan menjadi nyata, bahkan dalam mimpi sekalipun.
Lari? Ya, benar, aku adalah calon pengantin lari. Seorang bakal buronan yang melarikan cinta seorang Tuan Buaya. Meski tidak merasa cantik bohay, aku siap berlakon bak Maggie Carpenter, si Runaway Bride yang diperankan apik oleh Julia Roberts. Bila Maggie Carpenter berwatak plin-plan, maka akulah si pengantin minggat kumal yang syukur-syukur bersikukuh hati.
Rasa kantukku belum surut, tetapi langkahku mantap menuruni tangga, menyeret sebuah koper tua, menyandang ransel di punggung berisi laptop dan buku-buku kesayangan. Tas selempang tersampir di pundakku yang tegang terangsang was-was. Aku beruntung karena bawaanku tidak berat, tetapi akankah pelarian ini sukses?
Senin di dapur roti terasa dingin. Tidak ada kesibukan karena hari ini toko roti tutup. Seenggan apa pun, terpaksa kusambangi dapur berbau masam, karena titik awal pelarianku bermula di sana. Sudah maklum bila pintu depan, yang merupakan pintu toko roti, digembok Bu Soek dari luar saban minggu malam. Gembok baru dibuka sekitar pukul tujuh pagi hari senin, bersamaan dimulainya waktu sidak ala Bu Soek. Kulirik jam tanganku, lega waktu dua jam masih tersisa sebelum pukul tujuh datang berkunjung.
Denting anak kunci nyaring saat beradu dalam sakuku. Kugenggam serenceng anak kunci, menipiskan bibir dan membulatkan tekad hati. Di belakang dapur ada pintu tripleks menuju taman belakang, meski kata "taman" hanyalah istilah manis untuk lahan sempit yang terkepit dua bilik kecil bernama gudang di sebelah kiri dan toilet dapur di bagian kanannya.