Manusia dikodratkan sebagai makhluk pemindai bebauan. Hidung kita, entah mancung ataukah pesek, dirancang sebagai alat pembau yang jempolan, mampu merekam memori sel aroma bahkan sejak dalam kandungan. Penciuman adalah jendela indrawi pertama yang dibukakan Tuhan bagi calon manusia. Bahkan sejak janin, indra pembau digariskan lebih peka dua setengah juta kali lipat dari indra pendengaran. Tidak mengherankan saat tumbuh matang, organ istimewa ini piawai mengenali triliunan stimuli yang berlainan.
Aku yang mulai siuman membaui aroma roti. Keyakinanku menebal bahwa pelarianku tidak sukses, masih terjebak dalam dapur roti berbau masam. Namun tunggu, mengapa aku juga mengendus bau sampah yang menusuk? Bukankah artinya aku benar-benar terjatuh dalam timbunan sampah dapur? Apakah penciumanku bermasalah ataukah saraf olfaktori mengkhianati memoriku sendiri?
"Ti, singkirkan pakaian itu. Agaknya tidak bisa dicuci, baunya terlalu busuk. Dibuang saja ya." Suara perempuan matang yang berwibawa membuka jendela kesadaranku. Itu bukan suara Bu Soek. Aku segera menyukai warna suara si perempuan asing, betapapun aku belum mengenali sosoknya. Ibu. Suara itu menyerupai milik ibu kandungku.
"Baik, Tante. Lagipula oblong ini juga bolong-bolong. Memang sudah layak jadi sampah." Telingaku akrab dengan suara perempuan muda itu. Entah kenapa Arya Vati terdengar menahan rasa jijik. Sungguh heran bagaimana perilaku waktu demikian berkuasa mengubah watak seseorang.
"Ah, lihat si Noni sudah mulai siuman. Syukurlah. Agaknya dia cuma kelelahan dan belum sarapan pagi. Tadi tekanan darahnya cukup anjlok." Suara perempuan yang mirip suara ibuku berdengung merdu, di telingaku sedikit menyerupai desing sayap capung.
"Lila, Nduk, mau Ibu dongengi tentang Noni si capung?" Dalam angan-anganku, ibuku kembali berdendang di sisiku, mengisahkan kepintaran seekor capung yang menumpas sekawanan kera pandir yang sesumbar ingin menguasai Kerajaan Tjapung Papatong. Lila adalah sapaaan mesra ibu untukku, merupakan bahasa arkais yang maknanya warna ungu muda. Ibuku berkata, ia baru akan menyapaku "Ungu" saat usiaku menginjak 18 tahun. Sayang, ibu bahkan tidak sempat merayakan hari jadiku yang ke-17.
"Ibu, Bunda, alangkah senangnya bisa menjadi capung ya, Bu." Sejak kecil, aku tergila-gila pada dongeng Noni Capung. Ibuku bernama Pena Wuri, tetapi tidak ada yang menyapanya "Pena" atau "Wuri". Semua orang memanggil ibuku Enon, diambil dari kata "Noni", karena sepanjang hari ibuku bersenandung, mengurai nada lagu yang tetap serupa, lagu tentang Noni si Capung cantik yang cerdik.
"Enon jatuh dari balkon lantai tiga, mungkin karena ingin mengamati capung. Yang tabah ya, Neng." Tragedi itu menyambar bak kilat di tengah hari yang pilu. Sehari sebelum hari jadiku yang ke-17, aku pulang sekolah dengan riang, memanggil-manggil ibuku dengan mesra, "Ibu, Bunda." Namun ibuku tidak lagi menjawab sapaanku, untuk selamanya.
"Genduk, kau sudah sadar? Nduk?" Aku kembali mendengar suara ibuku dan kuharap mimpi ini menjadi nyata. Jemari yang keibuan menyentuh dahiku, memastikan aku tidak demam. Tak salah lagi, inilah ibu yang sangat kurindukan. Aku bangun terduduk, memaksakan diri tersadar penuh, hendak selekasnya memeluk ibuku.
"Ibu, Bunda." Aku menangis dalam pelukan perempuan beraroma kacang mete dan mentega karite. Aku hafal bebauan itu, karena kemarin baru saja "kerja rodi" menggarap roti-roti berbau sedap. Roti kacang mete dan roti oles mentega karite. Ini bukan ibuku, aroma ibu adalah wewangian kesturi putih bercampur daun filodendron lemon yang misterius. Ibu, bunda dalam angan-anganku.
"Aku Tante Tira, Nduk. Jangan panggil aku Ibu. Membuatku terdengar tua." Tentu ini bukan ibuku. Mataku terjaga penuh, mendapati diriku berada dalam kamar berwarna krem mentega, tubuhku dibalut daster batik yang agak kedodoran. Pekatnya aroma roti menyadarkanku bahwa benang masa lalu masih mengikatku dengan erat. Ini tempat apa?