Lindur Ungu

Silvia
Chapter #19

Tamar Indri, Lagi

Bagaikan spesies angsa asal, sejenis unggas yang kerap bermigrasi dan kembali lagi ke tempat asalnya, takdirku selalu tak jauh dari Tamar Indri, toko berbau kecut milik Bu Soek, induk semangku yang pemurah lagi mulia hatinya.


Betapa tidak, selepas tujuh hari memulihkan diri di Toko Tira Makasi, aku dihimbau untuk kembali ke toko Tamar Indri, dengan status baru sebagai koki roti yang notabene asisten atau tangan kanan kepercayaan Tante Tira, sang pemilik baru Tamar Indri yang dulunya punya reputasi masam tak kepalang.


 "Nduk, kau punya tangan yang luar biasa, sayang selama ini bakatmu tidak dihargai siapa pun. Kau bisa jadi orang besar, Nduk, asalkan tanganmu itu dipergunakan dengan cermat. Percayalah pada Tante. Kali ini Tante menemukan orang yang tepat. Ayo, kita bangun Tamar Indri bersama-sama, Nduk."


"Tapi, Tante, kenapa harus Tamar Indri? Kenapa Tante tidak memilih toko lain saja?" Siasat udang di balik batu dari Tante Tira kian mengherankan. Rasa-rasanya "udang" yang dipendam Tante Tira makin "besar" dan mengancam seiring waktu.


 "Kau tak perlu takut kembali ke sana, Nduk. Tante menemani di sisimu. Percayalah pada Tante, Nduk." Tante Tira menepuk pundakku dengan ringan. Seperti biasa, sang tante merengkuh tanganku, meraihnya dengan jemarinya yang dingin. Aku tidak lagi merasa terkejut.


Tanpa perlu penjelasan panjang lebar, aku tahu utang budiku pada Tante Tira sangat tak terbilang. Bu Soek mau membebaskanku, semata karena aku ditebus dengan harga yang lumayan tidak murah. Utang Bu Soek pada Pak Nas dilunasi seluruhnya, oleh Tante Tira tepatnya, dengan syarat, Tamar Indri dioper pada Tante Tira, sementara Bu Soek masih menikmati bagi hasil tiga puluh persen dari laba penjualan roti.


Siapa yang bisa menolak proposal semanis itu? Bu Soek tinggal ongkang-ongkang kaki, memetik untung dari jerih keringat kami berdua. Aku dan Tante Tira bakal kerja keras menyelamatkan Tamar Indri dari ambang kebangkrutan. Tante Tira punya keahlian dan modal secukupnya, sementara aku punya tekad untuk berdikari sebagai penulis. Aku cuma ingin bebas dari pasungan dapur roti. Namun, aku butuh senjata ampuh untuk mulai dapat menulis. Senjata itu berupa uang.


Seorang bijak berkata, membangun mimpi adalah hal yang indah. Namun, bila kamu bahkan tak mampu mencukupi dirimu, apalah arti mimpi-mimpimu?


Itulah sebabnya, aku butuh pekerjaan yang mantap sebelum memulai tulisanku yang berharga. Pekerjaan koki roti seharusnya tidak buruk, bila kamu digaji secara layak oleh majikan yang pengertian. Pak Arkad, mantan koki roti Bu Soek merekomendasikan aku kepada Tante Tira, dan sebagai imbalannya, Pak Arkad kini bekerja di toko roti Mister Hanki yang ternama.


Benar kecurigaan Bu Soek, bahwa Pak Arkad adalah koki sementara Tira Makasi yang akhirnya berhenti beroperasi untuk selamanya. Selama tujuh hari bermukim di Tira Makasi, aku diwajibkan menjalani kursus kilat. Dilatih Pak Arkad, aku belajar cara mengolah roti dan donat secara profesional dan cermat. Sang koki bakery tidak tunawicara sejatinya, karena selama bekerja pada Bu Soek ia dilarang mengobrol denganku, untuk suatu alasan yang tak wajar.


"Tulisan yang baik dihasilkan dari hati yang tenang. Bukan munafik kalau manusia butuh uang agar hidupnya tenteram. Manusia tidak butuh kaya, yang penting kebutuhannya tercukupi dan hatinya merasa bangga. Itulah kuncinya, saudara dan saudari."


Lihat selengkapnya