Selamat pagi, duniaku! Aku menggeliat malas untuk menyambut pagiku yang penuh nyala semangat 80-an. Bukan semangat 45 seperti yang sudah lumrah. Pasalnya tahun 80-an ini menunjuk kejadulan yang tersiar dari kamar milik tetanggaku.
Perempuan lucu tetangga sebelah kamarku itu ibarat weker jitu. Tepat pukul enam di pagi yang indah, radionya sudah berdendang. Lagu lawas 80-an yang membuat hati bergoyang. Kopral Jono, oh Kopral Jono, nada kocak itu disukai semua orang, tak terkecuali diriku, yang terpanggil bangun sangat awal mendahului penghuni kost lainnya. Ya, meskipun di rumah kost ini, hanya ada dua makhluk hidup, yaitu aku dan si perempuan alarm hidup itu.
Pukul setengah enam, atau tiga puluh menit menuju pukul enam, aku mendahului alarm si perempuan lucu. Memikirkan perubahan hidup, menjadi tujuanku bangun sangat pagi, setelah sebelumnya berjaga hingga pukul sebelas malam menggarap novel terbaruku.
Tante Tira yang tergolong trendi tidak ingin aku tampil kumal melayani pelanggan kami. Sigap dan tanggap, si Tante menyiasati kecilnya kamarku dengan lemari kain yang multifungsi. Bahkan lemari anak kost-kostan ini diisinya secara komplit. Celana jeans berikut kemeja flanel kotak-kotak yang necis, sebagian berlengan pendek, beberapa lagi berlengan panjang, menggantikan oblong berlubang-lubang yang kuakrabi dahulu. Untung saja, kaus dan topi berlogo Swara Petang yang kumenangkan dari survey tidak turut dibuang oleh sang tante.
Tira, kependekan dari nama Namastira Gatra Wasistha, sang tante paruh baya yang cantik jelita, tidak suka dianggap tua, bahkan menolak sapaan Bu Tira dari tetangga sekitar kami. Tira mungkin juga singkatan dari tirani, lantaran tante yang sekilas baik hati ini sejatinya diktator, arogan, dan gemar memaksakan kemauannya sendiri.
Seperti saat aku dipaksa mengenakan rok tunik semata kaki, semacam baju seragam yang memaksaku tampil "representatif" sebagai pelayan toko roti Tamar Indri. Nah, ini istilah yang sering membuatku heran. Representatif. Alah, toko sekecil Tamar Indri saja kok sok-sok mau profesional gitu, sih. Biasa aja, keles.
Namun, aku patuh juga memakai tunik biru tua suruhan Tante Tira. Lumayanlah potongannya. Aku merasa jadi girly dengan dress feminin semacam ini. Perubahan satu lagi adalah Abi, mahasiswa tetangga kami, makin rajin berbelanja roti. Terkadang, tujuannya datang ke Tamar Indri agak dipaksa-paksakan, seolah sengaja mampir dan malah mengobrol ngalor ngidul seraya menolongku melayani pelanggan.
"Mbak Ungu pasti bangun sangat pagi untuk mengolah roti. Kamar Mbak saya lihat sudah terang jam setengah enam. Kalau saya sih memang bangun pagi-pagi untuk belajar, Mbak. Saya pantang begadang. Pikiran malah mampet, Mbak. Hahahaha." Abi berseloroh sembari membantu menata roti dan donat blackberry.
"Begitulah, Bi. Jam enam saya mulai kerja di dapur. Tapi masih lebih banyak Tante Tira yang kerja sih. Saya kan cuma asisten koki roti." Aku mengakui dengan jujur, karena di dapur roti aku memang cuma memback-up perannya Tante Tira.
"Saya dengar Mbak pandai menulis. Sekarang masih aktif membuat buku, Mbak?" Abimanyu melambai bersemangat, kedua sobatnya, Bro nomor satu dan Bro nomor dua terlihat memasuki toko roti.
"Anu, Bi." Malu seketika, aku mencari cara mengalihkan topik percakapan Abi. Duh, jangan sampai teman-temannya yang penggosip itu tahu, Lindur Ungu cuma penulis gagal yang sedang gamang dengan pilihan hatinya sendiri. Menulis tetapi miskin dan idealis, atau fokus mengelola toko roti yang tak sesuai panggilan jiwa yang sejati."Itu aku cuma ..."
"Halo, Abi. Eh, lu lagi iseng, Bray?" Bro nomor satu menyikut Abi. Sontak mereka bersalaman dengan saling menyentuhkan siku. Kebetulan aku baru saja mau menyebut kata iseng, maksudku aku menulis sekadar iseng saja, begitu.