Lindur Ungu

Silvia
Chapter #21

Kaktus Ungu

Ketukan di pintuku beruntun, mau tak mau kutanggapi kepanikan si penggebuk pintu. "Ya, Mbak Rhin. Ada apa ya, Mbak?" Kutunggu jawaban si Rhin tetangga kamarku, sebelum kuputuskan, apakah aku perlu resah atau berpura-pura tenang menyikapi perbuatannya. Aku ini jaim, dong.


"Mbak, buka dulu, Mbak, tolong saya, Mbak." Oke. Panggilan "Mbak" sudah diucap tiga kali. Artinya ini pasti problemnya sangat urgent, aku membatin.


Berlagak ramah, kubuka pintu kamarku, mencoba tersenyum, walau kecut hatiku lantaran istirahatku diganggu gugat. Apa-apaan sih, kenapa gak nunggu besok saja, emang aku ini unit tolong-menolong darurat yang siap sedia 24 jam dan tujuh hari dalam sepekan. Enak saja, jelang jam sebelas malam masih juga repotin tetangga. Pikirku dengan kejengkelan yang meluap.


"Mbak, di rumah ini ada hantunya. Tolong, Mbak, saya takut banget. Saya parno hantu."


Bibirku yang hendak berucap "ada apa ya" terbungkam dalam sekejap. Hantu? Jujur aku tahu komputer uzur dan lalu laptopku dirasuki editor terduga hantu. Pasti ada sesuatu yang paraghoib di dalam rumah ini. Namun, aku tak mengira hantu jorok itu bakal begitu vulgar menyerang penghuni rumah nyatoh.


Rumah nyatoh adalah julukan yang beredar di Kampoeng Doekoe. Nyatanya, rumah yang pernah dipunyai Bu Soek ini memang dibangun dari kayu nyatoh. Bahan kayu yang murah harganya tetapi terbilang kokoh, penyelamat bagi rumah seadanya yang dibangun Pak Sat dalam kalut. Usaha bapak asuhku ini gulung tikar akibat ulah judi Bu Soek, praktis asetnya raib seluruhnya demi menuntaskan utang sang istri.


Pantas saja Pak Sat yang panik membeli tanah status girik ini meski kesan angkernya santer tersiar dari mulut ke mulut. Gosipnya ada pemakaman tersembunyi di tanah ini. Entah wujudnya pekuburan bawah tanah atau pusara tak bernama. Kebenarannya tak diketahui, karena Pak Sat tidak membangun rumah ini dari pondasinya. Pondasi rumah memang sudah ada. Pak Sat tinggal meninggikan bangunan rumah, menjadikannya dua lantai dengan harga yang murah meriah. Tidak ada yang berani membangun di tanah ini, karena kutukan kelam yang merisaukan para penghuninya.


Tak sadar diri, seolah terhipnotis aku mencetus, "Memang ada hantu di rumah ini." Lantas kusesali ucapanku seketika itu juga.


"Aaahh! Benar, begitu?" Rhin menjerit keras. Heran, pitch suaranya terdengar sengau, sedikit terkesan seperti laki-laki, tetapi lekas ia tersedu selayaknya anak gadis, setengah memaksa menyelundup ke kamarku, meski aku belum mempersilakannya untuk masuk.


"Setan itu mengganggu saya tanpa henti, Mbak. Radio saya juga dirasuki hantu. Setiap kali saya ingin menangkap siaran radio, yang tersiar cuma Jamalama FM, tak peduli saya mengaturnya di frekuensi yang berbeda. Mbak merasakannya juga?" Rhin nyaris mencekal tanganku erat-erat. Namun spontan aku menepisnya karena tangannya amat dingin.


"Ya, mungkin, Mbak Rhin. Memang ada aura kehantu-hantuan di rumah ini." Aku sekaligus meralat pengakuanku soal fenomena supernatural di rumah kost kami.


"Bukan, Mbak. Maksud saya, Mbak merasakan kalau tangan saya selalu dingin sejak masuk rumah ini?"


Deg! Jantungku berdegup seperti marathon 100 K. Bila dicek dengan alat pengukur, mungkin denyutnya melonjak di angka 100 dengan kadar saturasi mentok di 50 persen saja. Pasalnya dadaku sesak seketika, mengingat dinginnya tangan Tante Tira. Yang bersangkutan mengaku punya lemah jantung sehingga tangannya terasa lebih dingin dari orang-orang umumnya. Namun ternyata, Mbak Rhin juga mengalami keadaan serupa.

Lihat selengkapnya