Tira. Sang tante yang enggan dipanggil ibu. Bukan lantaran sok muda dalam asumsiku. Mungkin, tante yang adalah nyonya bosku itu tak pernah jadi ibu. Maka, jengah ia mendengar sapaan "ibu", suatu kata traumatis yang mengingatkan akan "kekurangannya" sebagai perempuan berumur. Sekalipun kharisma awet mudanya tak luntur, usia memang tak dapat dibohongi, memunculkan penyesalan di hati seseorang yang usianya telah matang. Sudah banyak contohnya, perempuan yang menyesal di hari tuanya, karena tidak berkesempatan menimang anak semasa mudanya dulu.
Pasalnya, di balik sikap necis dan pesoleknya, kuraba tanteku ini punya keibuan yang menonjol. Selain lemah lembut sikapnya, panggilan "nduk" kepadaku tak lepas dari bibirnya. Seolah aku punya ibu kedua, menggantikan ibundaku yang sudah tiada. Mungkin, Tante Tira menyesali diri yang tak dikarunia momongan, hingga aku pun dijadikan tumpuan kasihnya, sebagai anaknya dalam tanda kutip ganda.
Seperti yang kubilang, Tante Tira lembut kata-katanya, tetapi tegas dan pendikte, meski tak pernah ia meninggikan suaranya kala membimbingku di dapur roti. Aku si asisten dapur sudah kebal diceramahi, dan setiap ilmu roti dari sang tante ibarat wejangan guru-guru galak yang musti kusantap saban harinya, mentah-mentah.
Baiklah kusapa beliau Tante Tirani saja. Tanpa maksud merendahkan, atau melecehkan nama seorang perempuan yang menyapa "nduk" atau "nak" dengan mesra. Pasalnya majikanku yang murah hati ini amat terobsesi pada bentuk bulat sempurna, terkait donat-donat blackberry yang kami garap secara rutin, dan tentunya laris manis di Tamar Indri, sebagai produk primadona selain roti isi kismis.
"Kesempurnaan itu segalanya. Namun, ingat, kesempurnaan sejati bukan terhindar dari kesalahan, tetapi mencari penyempurnaan dari cacat cela yang ada." Ceramah bijak Tante Tira diakhiri dengan perintah agar aku membuat ulang donat-donat yang tidak bulat sempurna.
Pernah dengar pepatah "makan asam garam"? Sudah banyak makan asam garam menandakan pengalaman yang matang dan kawakan, selaras dengan Tante Tira yang dimatangkan di dapur roti, mencetak pribadinya yang tegas mendewakan kesempurnaan mutlak.
Seperti halnya pepatah "makan asam garam", Tante Tira mementingkan peran garam dalam resep roti andalannya. Bukan rahasia kalau sang tante fanatik dengan garam laut halus yang diimpor khusus dari Puerto Rico. Konon dapat melenturkan adonan dan membuat fermentasi lebih matang. Konon rasanya lebih sedap dari garam kebanyakan. Yang terakhir ini bukan kekononan, karena rasa sedap roti made in Tante Tira tak terlupakan, memorable, membekas di lidah dan ingatan para penggemarnya. Semula aku yakin Tante Tira pastilah berpuas diri.
Namun, betapa kelirunya aku, karena tak disangka-sangka, Tante Tira ingin menjajal rasa baru dalam rotinya, yakni rasa asam. Sang tante terinspirasi masamnya roti Tamar Indri, roti isi apel dan isi nanas yang dibeli Arya Vati, keponakannya, ternyata dipersembahkan sebagai sampel kepada sang "Ratu Tiran". Dari bisik-bisik pelayan Tira Makasi sebelum bangkrut, aku ngeh bila Tante Tira dijuluki "Ratu Tiran" yang kejam bukan main kala menuntut kinerja serba tak tercela.
Aku tak luput menjadi korban. Meski berstatus "anak emas", sebutan itu luntur seketika di dapur roti Tante Tirani, eh, maksudku Tante Tira. Tak ubahnya "abdi dapur", aku dituntut keras menghasilkan roti-roti dan donat-donat yang sempurna. Tidak bisa tidak aku manut, karena mata jeli Tante Tira bukanlah omong kosong, aku tahu Tante Tira tak pernah salah, setidaknya perihal itu kebenaran absolut dalam dapur roti miliknya.
"Tante tahu mata jeli ini tidak mungkin keliru. Tanganmu memang cakap, Nduk. Donat blackberry ini sudah manis rasanya, dan tanganmu membuatnya tampak kian manis. Hm, ajaib sekali." Tante Tira mengepit sampel donat di antara ibu jari dan telunjuknya, membentuk tanda OK yang gembira.
Tanpa seizin Tante Tira, aku mencomot sebutir donat manis, fresh from the oven. "Ah, benar Tante. Rasa manis donat ini unik, gurihnya benar-benar menggigit ya, Tante." Aku bahkan tidak perlu menggigit untuk menghabisi gigitan donat, teksturnya meleleh, mulus melincir melewati sela-sela lidahku.
Sekejap Tante Tira mengernyitkan kening, lantas tawanya pecah mendengar kata "unik". Hari ini, Tante Tira melanggar aturan dapurnya sendiri, ia ikut mencicipi sebutir donat, mencomotnya dengan tangan telanjang. "Kau memang pandai menggambarkan rasa, Nduk. Manis donat ini didapat dari garam vanila, gula sorgum dan susu segar dari Kampung Krucil. Kau tahu kan, kualitas susu sapi dari kampung itu benar-benar nomor wahid?"
Aku kian yakin, dunia ini sempit dan jalinan jodoh itu ajaib. Kebetulan sekali, ayahku terlahir di Kampung Krucil, demikian pula aku. Nama kampung halamanku menjadi olok-olok, melahirkan jejuluk "si Anak Krucil" bagiku. Tante Tira kian semringah mengetahui kami satu kampung kelahiran. Cerita masa lalu sang tante terungkap, ia sudah belajar membuat roti sejak remaja dan pernah bekerja sebagai juru masak di suatu keluarga yang kaya raya. Walaupun bisnis roti baru ditekuninya enam tahun terakhir ini, statusnya sebagai koki bakery sudah tergolong "veteran" dan "super senior".