Aku merasa sebagai terdakwa mati. Penulis yang tak berdosa ini dihakimi sepihak, oleh hantu tak tahu diri yang mengungkap dosa-dosa penulis pemula. Kesalahan pertama, katanya, gagal mengenali selera pasar. Poor dear! Pity me!
"Hm. Kaktus Ungu. Disayangkan ya, tulisanmu padahal ada kemajuan. Tapi dosa asalmu masih ada. Kamu tahu gak, setiap penulis lahir dengan dosa asal. Dosa yang paling besar adalah tidak bisa membaca tren selera pembaca buku. Itu dia." Seperti biasa, selugas yang sudah-sudah, si editor hantu memberiku kritik pedas, tercetak dengan tulisan bold pada kolom komentar sisi kanan.
"Astaga." Aku mengetik balasan dengan tak tergesa. "Maksudmu naskah yang kugarap ini gak trendi atau tak cocok dengan mainstream pasar dewasa ini, Van?" Ketikanku amat lambat, sebabnya aku sambil mengemil keripik pedas. Lumayan, ini oleh-oleh dari Abimanyu yang herannya tahu saja selera camilan kesukaanku.
"Van? Siapa itu Van?" Si editor sok hantu mengetik balasan dengan segera.
"Ya, dikau lah pastinya. Van, kependekan dari Vaniti Impresa. Hihihihi." Lucunya, sore ini perasaanku rileks bingitz, sempat-sempatnya aku bercanda tawa dengan sesosok hantu yang menyeramkan.
"Oke. Up to you lah, Kaktusku yang Ungu. Nah, kamu sudah ngeh, kan? Tema romantis yang kamu buat itu sudah basi. Sekarang kurang laku cerita macam menye-menye unyu-unyu sok cinta-cintaan seperti itu. Kerangka karangan yang pernah kuajarkan itu cuma buat latihan saja. Tak sangka kamu serius menulisnya jadi naskah buku. Sorry, kamu kudakwa sesat dan salah haluan, Kaktusku."
"Show me, do not tell." Kutegaskan doktrin wajib bagi penulis pemula, agar tak pelit-pelit mendeskripsikan suatu subyek. Mudahkan pembaca untuk mendalami ceritamu, melalui tindakan, kata-kata, pikiran, perasaan, dan penginderaan si tokoh cerita. Masih kuingat jelas, si setan editor sendiri yang mengajariku prinsip itu.
"Hehehe. Skak Mat untukku, ya. Baiklah, Kaktus Ungu, kamu belum tahu kan, tren kepenulisan akan bergeser menyukai cerita-cerita horor? Gara-garanya Raia Danisa, penulis paling laris di negeri ini, baru saja merilis dua buku horor slasher thriller berjudul Pissing John dan Manusia-Manusia Laloe. Tren pasar pasti beralih menyukai buku-buku sejenis, tidak lama lagi. Lihat saja tanggal mainnya."
"Okey dokey. Lalu aku harus menulis yang horor-horor kan, begitu? Yuk, kita mulai dengan menulis kisahmu saja, Van." Aku berseloroh dengan sarkasme dan sindiran pedas untuk sang hantu betina.
"Tut-tut-tut. Janji adalah Janji. Kamu janji mau kuperalat, kan? Bagaimana kalau kuarahkan kamu menuliskan seorang tokoh hebat yang bakal membuatmu kondang sejagat bumi akhirat? Menurutmu aku tipe hantu klise, kan?" Si editor ghoib menantangku tanpa tedeng aling-aling.
Antiklimaks kejutan sang hantu betina. Aku sudah menduganya, dari lubuk hatiku yang paling kecut, sang editor setan bakal memintaku menuliskan kisah Carel de Groot, legenda Kampoeng Doekoe yang menurutku fiksi semata. Ya, kalaupun ada sedikit kemungkinan terkecil, Carel de Groot itu tokoh nyata, kisah hidupnya yang unbelievable sudah dibubuhi bumbu aneka kecap, hingga menyerupai dongeng yang mengada-ada semata.
Pertama-tama, si dokter de Groot dalam legenda baiknya luar biasa. Murah hati dan penuh belas kasih, tanpa pamrih memberi pengobatan gratis pada kaum tak mampu, terutama penduduk non Eropa. Kedua, sang dokter cinta mati pada istrinya, Femke de Groot, sampai-sampai gagal move on dan istrinya itu diawetkan jasadnya, seolah-olah tidak meninggal dan kondisinya sehat seperti sediakala.
Betul memang, ada sebuah versi cerita yang menuding Carel de Groot sebagai pembunuh berdarah dingin. Sebagian orang memercayai legenda kebaikan sang dokter baik budi, seperti Pak Sado dan aku sendiri. Sebagian lagi meyakini Dokter de Groot berkepribadian ganda. Berbudi mulia di mata pasien-pasiennya, sejatinya ia dingin dan sadis di alam bawah sadarnya.