Makan siangku bersama Abimanyu dimeriahkan dua piring full nasi goreng kampung, selepek odading goreng, berikut dua gelas jus apel delima, dihantarkan seorang waiter berbusana tunik dan rompi magenta keungu-unguan. Lagi-lagi ciri busana Belanda doeloe dari masa pendudukan VOC di tanah Pertiwi tercinta.
Menu pelengkapnya adalah orasi Abimanyu yang berkobar-kobar, tepatnya si pemuda berkoar soal cara jitu meluluskan Rumah Walanda sebagai bangunan cagar budaya bersejarah, dengan sendirinya menyelamatkan Kampoeng Doekoe yang bakal sah sebagai kampung cagar budaya yang dilindungi pemerintah.
"Saya tersadar, berdusta putih itu tidak dosa, asalkan tujuannya untuk kesejahteraan orang banyak. Alangkah bagusnya bila sanggahan Mbak soal Carel de Groot nyata adanya. Kampoeng Doekoe kita bakal luput dari penggusuran massal, Mbak." Abimanyu mematut jendela kaca di sisi meja kami. Di kejauhan mencuat bangunan Rumah Walanda yang memesona. Memang, letak Kampung Gedong Rambutan masih bertetangga dengan Kampoeng Doekoe, terbilang tidak jauh, meski juga tidak dekat.
"Maksudmu, Bi?" Tak sadar, kudukku bergidik, menyadari betapa Vaniti Impresa dan Abimanyu punya kesamaan maksud, memintaku menggarap kisah Carel de Groot yang berteka-teki. Aku pun mencekau taplak meja merah jambu amat kuat, sampai-sampai butir manik kecil berbentuk love terlepas dari tempatnya.
"Buatlah tulisan yang berdampak, Mbak. Seolah-olah Rumah Walanda adalah saksi kemuliaan hati Carel de Groot. Kisah dokter Belanda yang memihak kaum pribumi pasti ampuh menarik simpati khalayak, Mbak."
"Jadi maksud kalian, eh bukan, maksud kamu Bi, saya perlu membuat kisah viral tentang Dokter de Groot yang menyelamatkan orang-orang kekurangan, begitu? Memang apa gregetnya cerita begituan? Biasa aja, di Yutube juga banyak pahlawan-pahlawan dadakan model gitu."
"Mbak tahu kita sedang menghadapi masa apa? Masa pageblug payah, Mbak." Abi tak sadar mengacungkan garpunya, potongan wortel bentuk jantung hati tertusuk, berikut helai selada yang digunting pola simbol love cukup lebar. Nasi goreng kampung ini nyata dirancang bagi pasangan cinta yang menjalin kasmaran.
"Yang kamu maksud pandemi virus yang datang dari luar itu, Bi? Ya, angka kasus kian meroket periode Mei 2020 ini. Kita perlu makin siaga, Bi. Astaga, lagi-lagi saya lupa bermasker keluar rumah." Kuamati, Abimanyu, waiter waitress, dan tetamu Kafe Bunga Kertas sebagian besar tidak mengenakan masker seperti diriku. Ah, ikut arus saja untuk amannya, demikian aku berpikir.
"Nah, jadi intinya kita bisa mengatur cerita, seakan Carel de Groot itu pahlawan dalam pageblug besar zaman kolonial dulu, Mbak. Cerita bertema wabah penyakit pasti laku keras sekarang ini. Gimana rasa sate ati ampela ini, Mbak? Afdol ya nasi goreng di kafe ini? Hehehehe." Abimanyu manggut-manggut, melahap tusukan ati ampela ayam sebagai teman makan nasgor kampung yang bukan selera kampungan ini.
"Pageblug zaman VOC, Bi?" Pikiranku meraba-raba, memori dari masa sejarah SMA, maksudku dari pelajaran sejarah masa SMA dulu, kira-kira wabah besar apa yang melanda tanah Nusantara di kala penjajahan Belanda tempo doeloe. Nihil. Aku betul-betul tak punya bayangan sedikit pun.