Lindur Ungu

Silvia
Chapter #28

Lady Gagambus

I am on the edge of glory ... glory ... glory ...


Manusia itu fitrahnya suka meniru. Aku pun tertular arus gemar mencontek, dengan perbuatanku meniru nama panggung Stefani Joanne Angelina Germanotta, si penyanyi sensasional yang kiprahnya menggebrak seantero jagat bumi dan semesta angkasa raya. 


Siapa itu Stefani Joanne Angelina blah-blah-blah? Kayak nama tetangga sebelah aku, deh. Kalian pasti heran dengan nama kebule-bulean yang manis, terkesan kalem, bak perempuan rumahan biasa saja, dan tidak merasa ada bintang besar yang punya nama seperti itu.


Aha! Bila kusebut nama ini, kalian pasti langsung ngeh deh. Lady Gaga, si biduanita kondang yang lahir dari keluarga imigran Italia dengan nama Stefani Joanne Angelina Germanotta adalah ilham kece untuk nama penaku di BukuPad. Jadilah aku bernama Lady Gagambus, terinspirasi setengahnya dari Gargamboose, pseudonym untuk penulis buku De Goede Dokter, menurut Abimanyu artinya tumbuhan kaktus berbunga ungu. 


Lady Gagambus van Kampoeng Doekoe, yang adalah diriku, si Lindur Ungu, mulai dirasuki semangat menulis luar biasa. Tiba-tiba saja, sekonyong-konyong datangnya, aku mampu mengarang tanpa kendala apa-apa. Kemarahan dari masa kecilku mungkin meledak begitu saja, luapan amarah yang kutuangkan dalam tulisanku tentang dendam membara sang dokter De Groot.


Kuputuskan berubah haluan, mengambil sudut pandang orang pertama, menghayati diriku sebagai Carel de Groot yang mati penasaran, menjelma arwah penuntut balas kendatipun semasa hidupnya Carel de Groot mulia hatinya.


Sebuah pertentangan ironik, bahwa orang baik hati sekalipun bila dilukai dapat berubah kejam dan pendendam. Ik ben onschuldig aan dat alles! Aku tidak bersalah untuk semua ini! Om Guus mengucapkannya berulang kali, berlutut memohon pengampunan dari massa yang gelap mata. Om-ku nyaris tewas oleh hujatan warga yang murka, sebelum berakhir di kantor polisi, lantas dideportasi dan menghilang dari pertemanan kami, untuk selamanya.


Om Guus-ku yang malang digerebek di kerkhof, tanah pekuburan yang kuanggap kebun kawista yang menggiurkan. Buah-buah memabukkan beraroma kola, kawista namanya, pada mulanya kusangka jeruk membatu yang sulit dikupas. Buah itu adalah rahasia "terlarang" milik kami berdua. 


Suatu sore menjelang maghrib, aku dan Om kesayanganku menyusuri kerkhof, sekadar memetik kawista dan berburu cerita ajaib yang terpahat pada nisan dan prasasti tugu makam. Mungkinkah Om Guus adalah penjarah makam atau pencari harta karun? Namun aku tidak pernah melihat Om-ku mencuri sesuatu. Ia hanya mencatat dan menjepret gambar, kadang-kadang menjiplak motif pada prasasti dengan menggesek-gesek pensil di media kertas. Kuyakini mengamati makam adalah kesenangan Om Guus yang manis budi bahasanya.


Lihat selengkapnya