Mengikuti selera pasar sah-sah saja. Lumrah supaya bisnismu berjalan lancar. Sama sekali aku tak punya maksud menyalahkan Arya Vati, pemilik kafe sebelah rumah yang menggelar live music jelang tengah malam. Perlahan, kafe Arya Vati yang senyap mulai ramai dan jadi perbincangan khalayak luas. Arya Vati patut berbesar hati, dikarenakan strategi bisnisnya termasuk sukses berat.
Namun, berat benar dampaknya bagiku, terkait live music hingar bingar yang melulu diisi nyanyian Pak Nas yang mendayu-dayu patah hatinya. Betul, sekali lagi kutegaskan, penyanyi putus cinta yang menerorku tiap malam tak lain dan tak bukan adalah Pak Nas, babeh buaya yang nama bekennya Arnaz Ananas. Nahas nian nasibku yang serba ungu!
Babeh alias Pak Nas menjelma yutuber berbayaran tinggi, meski lagi-lagi aku tidak ngeh awalnya dan terlambat mengendus sepak terjang dadakan ini. Ciri khas Pak Nas yang tiada duanya adalah menyanyikan sajak patah hati diiringi musik cadas mengentak-entak. Kontradiktif dan kontroversial, melesatkan popularitas Pak Nas yang kini menjulang tinggi di jagat maya. Abimanyu benar, faktor simpati masyarakat amat berperan melambungkan nama seseorang. Lirik putus cinta yang digubah Pak Nas sukses mencuri belas kasihan orang-orang.
Seperti halnya pun aku simpati pada tetangga kamarku, si Rhin perempuan lucu yang dikucilkan seisi Kampoeng Doekoe, lantaran dituding sebagai, maaf, banci kaleng-kaleng macam pengamen yang mejeng di Tamar Indri dan kerap mengamen dengan krecekan cempreng dari rumah ke rumah itu.
Padahal Rhin itu cukup baik orangnya. Ramah, cerdas, dan penuh kejutan, si perempuan tak henti mengejutkanku dengan kemampuannya menulis kreatif. Ya, Rhin pernah mengaku sebagai editor lepas, tetapi katanya ia baru bekerja tak lama setelah menamatkan studinya di Malaysia, jadi masih wajah baru dalam profesi menyunting naskah yang disambinya menjadi penerjemah freelance.
Kejutan berikutnya, aku mendapatkan banyak masukan berharga selama menggarap tulisan tentang Carel de Groot yang difitnah purbasangka dan syak kecurigaan masyarakat. Berkat petunjuk si Rhin, narasi yang kubangun lebih mengalir, tidak lagi tawar menjemukan seperti tulisanku sebelumnya.
"Mbak, mengarang itu gampang, kok. Mulailah dengan dua kalimat yang mengandung rasa perlawanan. Maksudnya dua kalimat yang bertolak belakang maknanya. Contoh ya, Mbak. Seorang pelawak kocak yang memotivasi orang untuk menertawai getirnya hidup memilih bunuh diri akibat depresi menahun. Pertentangan itulah yang bikin cerita hidup dan punya efek kejut yang menarik pembaca. Berasa gak, Mbak, dapet gak gregetnya?"
Refleks aku mengangguk, mengiyakan pernyataan Rhina Makina, meski belum sepenuhnya paham. Aku merasa apa pun yang dikatakan si Rhin itu baik dan benar, seolah ia jauh lebih tua, meski faktanya, Rhin mengaku berusia 24 tahun, artinya cuma berselisih satu tahun di atasku.
"Benar kata Mbak Rhin, tapi saya kok takut salah menulis ya, Mbak Rhin. Ya, khawatir gak berkenan di mata pembaca, gitulah." Aku mengadukan kegundahanku yang mungkin kekanakan bagi Rhin, tetapi itulah dosa terbesar seorang penulis pemula bernama Lindur Ungu.