Ayah Abimanyu jatuh sakit tiba-tiba, mungkin karena mencemaskan putranya yang dipenjara. Selama pria yang kusapa Bapak itu diopname di rumah sakit, aku menginap di rumah Abimanyu, menemani ibu Abimanyu yang was-was tinggal sendirian saja. Kebetulan teror vandalisme kembali menyasar Tamar Indri, mengguncang kedamaian kami yang mulai berlega hati. Aksi pengecut kukutuk sehabis-habisnya, merontokkan semangatku yang bahkan tak sanggup menulis absurd. Satu pekan bergulir, dan ayah Abimanyu akhirnya dibolehkan keluar rumah sakit.
Haru menyusup hatiku, karena si Rhin, Mbak-Mbak lucu penggugup itu menyambutku penuh syukur. "Alhamdulillah Ala Kulli Hal. Segala puji bagi Allah atas setiap keadaan. Mbak pulang juga akhirnya." Kulihat Rhin sedikit berkeringat, suaranya beriak, seperti getaran suara seorang yang dikuasai emosi tak terkira. Teringatlah aku kala Rhin melapor soal hantu dan nekat memasuki kamarku malam-malam.
Rhin itu impulsif dan spontan orangnya. Khas sifat cewek yang identiknya mengedepankan emosi daripada nalar dalam mengatasi masalahnya. Siapa bilang sih Rhin itu bukan cewek tulen?
"Makasih, Mbak Rhin. Semoga tidak ada gangguan lagi di rumah ini." Yang kumaksudkan adalah gangguan teror vandalisme yang menimpa Tira Makasi, bukan soal hantu gentayangan di lantai dua, merundung komputer laptopku dan juga radio Rhin yang melulu menangkap Jamalama FM berikut lagu-lagu jadulnya yang itu-itu saja.
"Sejak Mbak hengkang waktu itu, saya tiap hari merinding, Mbak. Meski ada si Ippe, kami tidak akrab dan jarang ngobrol. Untung ada vokal comel si Arnaz Ananas. Live music-nya saya antisipasi lho tiap jelang tengah malam. Bagus! Suaranya pasti berjaya!" Lagi-lagi si Rhin menyerempet dengan bahasa Indonesia bercampur Malaysia, seperti yang kuperkirakan sebelumnya.
"Oh ya, Mbak Rhin? Sehoror itukah suasananya?" Jawabanku serupa mesin penjawab otomatis, sekenanya saja supaya kesannya ramah dan sopan santun.
"Maaf, Mbak. Saya boleh tidur di kamar Mbak malam ini? Pliiiss?" Comel-nya senyum si Rhin, maksudku comel dalam arti cute dan mengundang rasa kasihan, meluluhkan hatiku untuk mengiyakan request-nya.
"Yeayy! Yes! Bisa! Boleh! Eh, maksudnya hebat!" Rhin memekik pelan selagi kami mengobrol jelang pukul sebelas malam. Biang keroknya adalah semilir sayup-sayup dari kafe sebelah, karena jendela kamarku tertutup sangat rapat. Suara siapa lagi selain si penyanyi putus cinta atawa yutuber tengil yang malang melintang?
Bukan lantaran berbaik hati pada Rhin aku membuka jendelaku. Selain penasaran dengan nyanyian Pak Nas, ada hawa sumpek yang membuatku suntuk tak kepalang. Entahlah, susah bagiku menjelaskan fenomena "gaib" yang kualami ini.
"Emang bagus ya, Mbak Rhin, suaranya si Arnaz Ananas?" Aku bertanya terheran-heran, karena si Rhin berjoget seriang mungkin dengan pose duduk di atas ranjang.
"Bukan apa, Mbak. Request-an ku di akun Yutube si doi ditanggepin. Tuh doi lagi nyanyiin lagu yang aku minta. Hehehehe, happy lah."
"O Kopral Jono, gadis mana yang tak rindu akan dikau, O Kopral Jono, gadis mana yang tak rindu akan dikau. Gayamu yang perkasa, mirip dengan panglima, ramah tamahmu membikin gila hati wanita. O Kopral Jono, Kopral Jono, Kopral Jono ..."