Lindur Ungu

Silvia
Chapter #27

Madre, Bukan Ibu (2)

Lidahku kelu, kata-kataku gagal menemukan ujung pangkal yang tepat untuk menghibur Ippe-chan. Maka kupersilakan ia meminum teh jahe yang sehangat pelukan ibu. Dengan bersyukur, kusaksikan wajah Ippe-chan bersemu merah dadu setelah meneguk teh jahe yang kusajikan.


Batinku bergetar, sepoci teh jahe pun takkan mampu melipur rasa dingin ini. Kejadian tadi membungkam kesombonganku. Aku, Lindur Ungu yang menyepelekan keberadaan hantu, kini mendapat tamparan keras. Keyakinanku terjungkal, menjungkirkan lagak keberanianku yang turut luluh lantak.


Alhasil, teringatlah aku akan dongeng pengantar tidur ibuku, Pena Wuri. Hantu, iblis, dan setan itu apakah sama saja kejahatannya?


"Ibu, Bundaku, bukankah semua iblis sama saja Bu? Bermata merah dan bertanduk besar-besar?" Aku, Lindur Ungu cilik yang berusia tujuh tahun bertanya, jemariku memilin ujung kuncir kuda ibuku, sementara manik mataku bermain dengan takjub. Buku dongeng yang dibacakan ibuku sangat besar, bagaikan lukisan pastel pelangi yang cemerlang, membawakan kisah klasik kesayangan kami, judulnya Hati Malaikat dan Si Sayap Iblis.


"Justru tidak benar, Nduk. Iblis suka mengambil rupa seperti manusia. Wujudnya cantik, menggoda manusia yang hatinya lemah dan tidak waspada." Ibuku menyibak halaman buku, menunjukkan paras iblis yang sangat molek, jubah keperakan yang rupawan tersampir, sempurna menyamarkan sepasang sayap liat berbulu hitam nan pekat. Dialah iblis keji yang mencuri wajah molek seorang gadis baik. Malang bagi Hati Malaikat, demikian nama si perempuan suci, yang dikutuk mengenakan rupa asli si setan yang buruk tak terlukiskan.


Iblis mungkin saja berwujud cantik untuk menggoda manusia. Teringatlah pada Tante Tira yang jelita, tetapi penuh akal daya di balik kelembutan dan keibuannya. Aku yakin sepenuhnya, udang di balik batunya Tante Tira tetaplah mengancam.


"Lila, Nduk, ingatlah jangan mau berutang budi mentah-mentah pada orang lain. Saat kau diberikan sesuatu, kau juga harus berjasa pada mereka." Suara ibuku menanamkan prinsip yang tegas, sekeras pendirian ibuku yang tidak sudi menerima kebaikan Pak Sat dan Bu Soek secara cuma-cuma. Dulu, kami, ibu dan anak, menumpang tinggal di rumah mereka, tetapi ibuku bekerja sebagai juru tulis Pak Sat untuk membayar uang sewa kamar di paviliun pesanggrahan atau semacam guest house, cukup berdekatan dengan rumah induk orangtua asuhku. Itulah sebabnya tanpa bermaksud durhaka, aku menganggap Pak Sat dan Bu Soek sebagai bapak dan induk semangku.


Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Prinsip hidup ibuku juga kuanut dengan teguh. Setiap sen kebaikan Tante Tira kubayar tunai dengan jerih payahku. Tidak cuma-cuma aku berutang budi, karena aku yakin punya peranan penting dalam dapur roti Tamar Indri. Oleh karenanya aku gigih menggarap racikan biang madre, demi membayar lunas utang budiku, terhadap seorang Tante Tira dan cintanya yang berpamrih.


Pasta Madre formula A terpaksa berakhir di tempat sampah. Seperti yang sudah kuduga, eksperimen kami gagal total. Adonan kempis-lunak-busuk itu ibarat aib yang harus dilenyapkan. Sang Tante Tiran yang serba ingin sempurna takkan menoleransi kesalahan biang adonan, karena "biang" bersinonim dengan "awal mula", maka awalan yang salah akan melahirkan kesalahan berikut yang jauh lebih fatal. Bila diibaratkan lomba lari, titik tolak yang lemah menjadikan kami kalah bahkan sebelum mulai berlaga.


"Tidak mengapa, Oneesan. Kegagalan adalah ibu dari keberhasilan. Madre berarti ibu, artinya adonan ini ditakdirkan untuk melahirkan kesuksesan." Tidak disangka, Ippe-chan demikian optimis dan berpikiran terbuka, setelah guncangan insiden "berhantu" tempo hari.


Ibu kandungku juga berpikir terbuka, dengan tegar menerima kabar kematian ayahku. Usiaku sembilan tahun saat itu. Ibuku menyimpan air matanya, meski ada dua tetes yang luput, jatuh dan mengalir di pipinya. Dengan lembut, ibu menguncir rambut ikalku, memastikan telingaku menyimak dengan baik. "Nduk, Lila Sayangku, sekarang kita berdua saling mengandalkan, juga saling memiliki. Hanya ada kita berdua, Nduk."


Kehilangan ayah adalah pukulan berat bagi suatu keluarga. Ayahku meninggal saat bekerja sebagai supir pribadi Pak Sat. Tabrakan beruntun menghancurkan kebahagiaan kecil kami. Ayahku selalu dipuji karena berkendara dengan hati-hati. Ia juga pegawai yang penuh pengabdian, hingga menghembuskan napas terakhir pun tak lupa untuk melindungi majikannya. Pak Sat selamat dari kecelakaan maut karena terlindung di balik tubuh ayahku, yang rela pasang badan demi keselamatan atasannya.


Adapun Gemawan Ardaya, tokoh utama dalam novelku, tidak kehilangan ayah sepenuhnya. Ayah Gemawa Ardaya bekerja sebagai buruh bangunan, pada suatu hari yang nahas terjatuh dari ketinggian dan menderita cedera tulang belakang yang serius. Sang ayah tidak meninggal, tetapi tidak dapat dipulihkan dan terbaring lumpuh seumur hidupnya.


Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah hukuman terberat dalam hidup Gemawan Ardaya. Ayahnya mengalami kecelakaan kerja pada hari yang sama saat ia menyadari hati Lakshita Kiara mungkin tidak ditakdirkan untuknya.


Naluri Gemawan Ardaya tidak benar-benar keliru. Awan mendung di langit pagi berbuah gerimis di petang hari. Hanya gerimis, seguyuran hujan yang segera pergi. Lakshita Kiara ingkar janji, si cantik tidak hadir di jendela memori hujan, rumah kaca pengamat cuaca yang menjulang di puncak gedung sekolah bagian utara.


Sekolah mereka, SMA Segara Biru memiliki taman kebanggaan yang dinamai Kebun Tujuh Bianglala. Suatu taman rindang di atap dak bangunan sekolah yang berseberangan dengan Jendela Memori Hujan. Sore hari itu, bau petrikor tidak tercium, redup oleh semerbak pupuk berbau daun gugur. Kebetulan beberapa pohon pagoda baru ditanami, tukang kebun merawatnya dengan pupuk kompos, olahan dari dedaunan dan sisa tanaman mati. Alhasil musnahlah harum petrikor kecintaan Lakshita Kiara, sekaligus mematahkan harapan seorang kekasih sepihak yang dirundung kasmaran.

Lihat selengkapnya