"Mbak Lindur Ungu senang jadi terkenal di BukuPad?"
Cuek bebek. Aku tak minat menjawabnya. Macam pertanyaan anak SD saja, pikirku tak semangat. Tumben si Rhin menyapa namaku, bahkan sekaligus lengkap dengan Lindur dan Ungu, sementara si dia sungkan mengungkit namaku selama ini. Tak seperti Abimanyu yang setia dengan panggilan Mbak Ungu kepadaku, Rhin biasanya cukup menyebutku Mbak saja.
"Mbak gak ridho jadi orang terkenal?" Rhin merentet sekali lagi, memburu jawaban dari mulutku yang rapat membisu.
"Terkenal pun banyak modusnya. Kalau modus gak enak macam gini, siapa yang mau sih, Mbak Rhin." Aku mengibas-ngibas wajahku yang memerah, akibat tegang yang kurasakan semenjak kisah Carel de Groot ngehits di sejagat maya dan sejagat nyata. Matilah kamu, Ndur! Tak sadar aku menyumpahi diriku sendiri.
Sadarlah aku, dari sekian banyak jenis manusia, aku tak tergolong tipe yang pansos apalagi narsistis. Aksi panjat sosial dilakoni orang-orang ekstra PeDe, tinggi egonya, yang berbunga wajahnya kala terpampang luas di media massa. Hanya menatap fotoku di profil BukuPad saja, aku sudah malu setengah mati. Apalagi poseku luar binasa, wajah cupu terperangah bak gadis kekok-gagap-kamera. Banzai! Cagoklah aku. Cagok, kependekan dari canggung dan kagok. Sumpah!
Aku sudah berupaya. Mencoba mengganti foto profilku dengan gambar apa saja, selain foto diriku yang herannya mirip pasfoto ijazah yang ditahan pihak sekolah SMA Diraja yang sudah tutup. Nihil, karena tak lama setelah foto diganti, foto diriku kembali tampil, dengan rambut gondrong keriting megar bak bunga kol yang panjang, bayangkan si Princess Merida dari film animasi Brave, hanya saja rambutku tidak merah seperti tuan putri berdarah bule itu.
Astaga! Bahkan sebuah akun gosip di FB pun membahas buku yang kutulis meski baru tiga bab yang terunggah. Sudah tentu fotoku yang kece pun diulas luar dalam, bahkan beredar spekulasi bahwa aku dan Raia Danisa masih berkerabat dekat. GR sih iya pastinya, cuma ketar-ketir juga, takut ada orang yang mengenalku semasa sekolah dulu, lalu membocorkan soal masa laluku yang cupu.
Jujur, masa putih abu dulu, aku termasuk putih abu-ers yang kuper tak kepalang tanggung, sesuai julukan dari Loki seteru besarku itu. Lindur si kecambah kurus, anak taoge yang gak keurus, makanya kurus minta ampun dan otaknya gak mutu. Aku si kecambah kecil, kerap diinjak dan dilecehkan harga dirinya. Apalah dayaku untuk melawan, bila aku tak punya kuasa dan kawan satu pun?
Kecenderunganku sekarang, mengadu pada Abimanyu melalui jendela terbuka dan pesawat kertas yang ulang alik menyampaikan perasaan kami. Plong hatiku bila sudah menutup jendela selepas pukul sepuluh malam. Aku tak tahu pasti, inikah pertanda pintu hati di antara aku dan Abimanyu sudah membuka?
"Bi, jujur saja, kamu satu-satunya teman baik yang aku punya." Kutumpahkan kegundahanku di atas pesawat kertas yang lecek, akibatnya seringnya kami berbalas "chatting" dengan pesawat tersebut.
"Mbak Ungu gak usah sungkan. Mbak boleh curhat ke saya tiap saat." Abimanyu menanggapi, tulisannya persis di bawah tulisanku, kubaca sembari menatap si pemuda sawo matang berambut potongan undercut, bagian bawahnya dicukur pendek, sementara bagian atasnya dibiarkan tetap tebal, berbalur minyak rambut pomade secukupnya.
Aku tidak menerbangkan kembali pesawat kertas kami, menyimpannya dengan rapi, setelah sebelumnya kusampaikan kode "OK" pada Abimanyu dengan isyarat jemariku. Selagi Abimanyu masih tercenung, buru-buru kututup jendela kamarku agar si pemuda tidak tahu pipiku tersipu kemalu-maluan.