Konon, alkisah, pada masa yang telah lampau, seorang sinyo Belanda mengidamkan kudapan yang tak bernama. "Mami! Pokoknya aku mau makan dat! Belikan dat!" Si bocah sinyo tidak peduli sang mami terbingung-bingung, pusing kepala memikirkan idaman putranya itu. "Dat" berarti "itu" dalam bahasa Belanda, dan sinyo cilik merengekkan kata yang sama, berulang-ulang. Meski berpusing tujuh putaran, si mami muda tetap tak mampu menebak nama camilan tersebut.
Mujur, Sinyo kecil mengenali ujang penjual kue yang murah tawa. Di suatu hari yang riang bergembira, si ujang berkeliling mengumbar suara tawa yang khas. Ia tertawa bukan tanpa sebab. Begitulah caranya menjajakan kue. Tak alpa ia selalu membubuhkan "ha-ha-ha" di belakang seruannya, mungkin untuk menarik pelanggan, mungkin juga agar kemujurannya tertawa lebar. Yang jelas, mami sinyo berlega hati, karena rengekan sinyo akan terlunasi oleh senyuman si tukang jajanan pasar.
"O, dat ding?" Si mami cantik berseru, tak mengira kudapan misteri itu hanya kue biasa-biasa yang terbuat dari trio terigu-gula-telur plus garam secukupnya, lantas digoreng lurus-lurus, dalam arti seadanya saja. Kue bersahaja yang makin sederhana saat tergolek di atas nyiru, ditataki daun pisang yang mengilat berlumur minyak "O dat ding" yang berarti "Oh, benda itu". Si ujang ikut antusias, berseru kegirangan, "Oh, ini teh namanya odading?"
Itulah sejarah odading yang dituturkan Oom Gus kepadaku. Aku, Lindur Ungu cilik selalu tergelak, meski cerita sudah diulang untuk yang keseratus kalinya, oleh logat medok Oom Gus, Belanda totok yang gemar terbahak-bahak mirip ujang si penjaja kue. Dongeng kocak makin menggigit karena kudapan odading tersaji manis, legit di atas meja makan kami yang taplaknya berenda-renda putih.
Tiba-tiba aku memimpikan masa lalu. Tidak, aku bukan sekadar bermimpi, aku memang terjebak di dalam masa kecilku sendiri. Seingatku, aku tertidur di atas meja tulis dalam kamar kost, karena tubuhku menolak perintah impuls sarafku sendiri. Pasti aku demam parah, karena rasanya sudah berabad-abad lamanya tak sadarkan diri. Ada apa dengan tubuhku yang biasanya tahan banting ini?
Setelah tersapu dalam kabut gelap, aku mendapati penglihatan baru. Kulihat si kecil Lindur Ungu mengendap-endap, berjinjit memasuki kamar, lalu membuka laci meja belajarnya seperlahan mungkin, karena benda terlarang itu tidak boleh diketahui ibunya, yang adalah mendiang bundaku.
"Lila, Nduk, tidak perlu mencari lagi. Ibu sudah membuangnya, Nduk." Suara ibu punya ciri yang khusus. Seperti es kering, dapat menjelma sejuk ataupun melukai pada saat yang bersamaan.
Tubuh mungilku yang gelagapan membeku seketika. Pantas benda itu tidak terlihat dimana pun. Tentu saja aku tidak bisa menemukannya. Sekotak odading pemberian Om Guus. Odading terenak di dunia yang hanya tersisa tiga buah, harta karun yang kuendapkan dalam sudut laci terdalam, tetapi musnah dilahap prasangka ibuku. Om Guus nyaris habis di tangan massa, kini meringkuk dalam rumah tahanan, semua berkat ibu, yang menuding Om Guus milikku sebagai "pemangsa anak-anak". Pedofilia. Mana lagi tuduhan yang lebih kejam bagi seorang penyuka anak kecil? Mendadak aku benci pada ibu.
Mata dewasaku melihat warna luka di wajah kecil Lindur Ungu. Merah, segelap-gelapnya darah yang meradang. Aku kembali tersapu dalam kabut, kali ini berselimutkan merah pekat. Segera kupicingkan mata, karena warna merah menyakitiku, sepedih siksa di sekujur kulitku, sosok boneka golek yang digantungkan terbalik, di mana tali nasib silih beganti mempermainkan tubuh lumpuhku. Tubuhku rusak dan aku akan segera tiada, pikirku dengan sedih.
Entah bagaimana, aku tetap bernyawa. Mataku membuka tiba-tiba, menatap adegan bersimbah air mata. Aku di masa lalu menikam hati ibuku. Sepiring odading terhempas di lantai, beling-beling berserakan, nampak tragis dengan odading bundar yang menggelinding pasrah. Bahkan tega pula aku membentak ibu. "Tidak mau! Aku tidak mau odading ibu, aku cuma suka odadingnya Om Guus!"
Dengan jemari bergetar, ibuku memunguti beling-beling tajam. Tak ayal, salah satu di antaranya menyayat jari manis ibuku. Tak pernah kulihat perempuan yang menangis sangat pilu, mengulum jarinya sendiri, agar kesedihannya lekas mengental, seperti darah dari luka yang mengering. Ibu, Bundaku, maafkan aku. Mata batin dewasaku tahu, hati ibulah yang terluka parah, sementara Lindur Ungu kecil ikut menangis, menyesali ulahnya yang menampik odading tanda maaf dari ibu. Ibu, Bunda, aku bersumpah takkan pernah melukai hatimu lagi.
"Jangan menangis, Nduk. Syukurlah, akhirnya kau kembali, Nduk. Kau sudah kembali."
Suatu zat putih menghujani wajahku. Ini bukan kabut, meskipun mirip. Wujudnya beku, sepadat serat-serat bulu kapas. Sepanjang mata memandang hanya ada putih dan putih. Aku mengira bermandikan putih salju, tetapi bukan sama sekali. Benda ini sedingin salju, tetapi juga panas bagaikan api. Es kering. Siapa yang setega itu menjatuhkan diriku dalam sehamparan es kering?