Lagi-lagi aku bermimpi secara absurd semalaman, mungkin pengaruh efek samping obat yang diresepkan dokter untuk sakit lambungku. Berita baiknya, keracunan ringan yang kuderita ternyata bisa teratasi dengan karbon aktif dan minum air putih secukupnya. Artinya, aku bakal segera pulih kembali, secepatnya.
"Pak Siwon!" Teriakanku beradu dengan suara air yang diguyur. Air, ada air! Pak Siwon akan segera tenggelam, pikirku dengan ngeri. Gapaian tanganku kalap beradu dengan tiang kapal yang nyaris karam, kontan menyebabkan aku tersungkur, jatuh meluncur menuju lautan lepas. Mimpi menakutkan itu seperti gurita, lengan-lengan hitam yang meringkus, agar aku tak mampu mengenyam udara bebas. Paru-paruku sekarat! Aku yakin teriakanku tidak terdengar, karena pernapasanku tercekik benda aneh berlumur lendir. Lengan-lengan gurita. Delapan buah banyaknya.
Mimpiku berlanjut dengan menegangkan. Menjelang masa akhir kelas satu SMA, usiaku 16 tahun ketika itu, bukan lagi usia yang cocok untuk bermain petak umpet. Namun kudapati diriku tersuruk-suruk, menyelinap ke koridor gedung lapuk berbau apak yang cukup suram. Bagaikan siluman, aku berusaha menyembunyikan diriku secermat mungkin.
"Neng, Bapak sudah menunggu dari tadi."
Bagaikan anak pemain petak umpet, aku terlompat, merasa tertangkap basah oleh bapak sepuh berkulit keling. Percuma aku membangun persiapan batin, tetap aku dikejutkan oleh Pak Ki Hujan Dewandaru, pesuruh sekolah kami yang penampakannya mirip manusia pohon. Kulitnya legam dengan rupa kurus kering, tulang-tulangnya bertonjolan dengan kaki dan tangan menyerupai cabang ranting pohon trembesi. Dengan rahang keras kehitaman, terbayanglah sosok fosil Pithecanthropus erectus dalam diktat pelajaran sejarah, meskipun tak tega hatiku mengaitkan si bapak dengan belulang purbakala.
Suara denting kunci mengingatkanku, pak pesuruh ini sekutu dekatku dalam misi anti si Loki. "Ini kunci pintunya, Neng. Sepeda Neng aman di dalam, silakan."
Derit pintu yang terbuka memperlihatkan aneka kerangka, terpajang dalam bekas ruang praktikum biologi yang terbengkalai. Debu tebal menutupi tiruan rangka manusia yang mirip kerangka sungguhan, begitu mirip hingga kami berimajinasi sadis, mungkin ini kerangka siswa SMA kami yang nyawanya melayang di tangan Sang Loki. Bisa jadi begitu, kan?
Sembari menggiring sepedaku yang sehat walafiat, kulayangkan pandang ke ambang pintu, bermaksud mengembalikan kunci dan berterimakasih pada Pak Ki Hujan si pesuruh yang baik hati. Hah? Di mana si bapak sepuh itu? Suasana halaman luar lengang dengan jajaran pohon trembesi bak payung raksasa peneduh. Terpaksa kukantungi anak kunci dan kukayuh sepedaku selekasnya. Naungan hijau pohon berbunga merah jingga bagai bayang-bayang menakutkan, sebab aku masih percaya, Loki dan kawan-kawan terlalu piawai melacak jejak sepedaku yang nahas.
Dengusan napasku terasa panas, kubuang rasa lega setelah sukses menerobos pagar belakang sekolah. Tanaman perdu oleander merapati tembok tua yang nyaris rubuh. Pemandangan semak berbunga merah jambu semestinya romantis, tetapi area sekolah lama ini angker, setelah sekian tahun tidak dipakai untuk aktivitas ajar-mengajar. Terhitung lima tahun yang lalu, kegiatan belajar dipindahkan ke area depan yang lebih lapang. Manalah mau aku berlama-lama di tempat ini.
Aku berhasil menikung dengan selamat, sebelum terkesiap menangkap teriakan seorang laki-laki. "Hey, wait up!" Tolehan kepalaku yang panik nyaris membuatku oleng dari sepeda antikku. Segala syukur kupanjatkan ke hadirat-Nya, karena suara itu berasal dari Pak Siwon, guru baik budi yang telah menyelamatkan nasib sepeda kesayanganku. "Ungu, tunggu, biar Pak Guru mengantarmu sampai rumah." Kulihat Pak Siwon melajukan motornya hingga mendekati posisiku.
"Terima kasih, Pak. Thank you so so much."
Lidahku memang lamban, hanya mampu berterimakasih dengan kikuk, sedangkan perjalanan yang kami tempuh lumayan panjang, sekitar dua puluh menit bersepeda cepat dengan iringan Pak Siwon yang bermotor dengan pelan. Santai kami menembus jalan perumahan dan perkampungan yang rindang, berpadu celoteh burung kecil, ditingkahi bocah-bocah cilik yang bermain lompat tali, melompat engklek, atau berlatih badminton kampung, sampai-sampai sebutir bola kok tersasar masuk dalam keranjang sepedaku.
Seyogyanya mimpi ini berakhir dengan indah, karena kebersamaan dengan Pak Siwon adalah pelarian manis dari hari-hari suram SMA Diraja. Sepedaku yang malang sudah berulang kali digembosi Loki Cs, tak jarang kudapati terkapar dengan rantai yang terburai. Ujang sekolah yang muda usia selalu sigap mereparasi sepedaku, tetapi Pak Siwon mendapatkan akal yang lebih jitu.
Satu-satunya cara mujarab menangkal ulah si Loki adalah menyembunyikan sepedaku seaman mungkin, tentu bekerjasama dengan Pak Ki Hujan Dewandaru yang paling disegani sang Baginda Loki. Alhasil sepedaku diendapkan dalam bekas ruang praktikum biologi di area belakang sekolah yang terlantar. Loki tak mungkin punya nyali, karena area angker itu dikawal Pak Ki Hujan yang santer terlatih membekuk segala rupa makhluk maupun lelembut, Loki termasuk salah satu di antaranya.
Amat disayangkan, mimpiku berakhir dengan kengerian dahsyat. Tiba-tiba saja alur waktu bergulir terlalu cepat dan tahu-tahu nostalgia mimpi membawaku pada hari perpisahan dengan Pak Siwon. Kami berkendara sepulang sekolah, aku dengan sepeda tua dan Pak Siwon dengan motor skuter yang cukup trendi. "Pak, tolong jangan pergi terlalu jauh, agar saya bisa menemukan Bapak senantiasa." Setelah terdiam sepanjang jalan, akhirnya kuberanikan diri memohon, agar Pak Siwon tidak begitu saja melupakan pertemanan kami.
Satu hal yang kusukai dari Pak Siwon adalah wawasannya tentang awan dan mitologi Yunani kuno. Guru bernama asli Mikael Dwipa Suwandi itu berpendapat, legenda Lindur Ungu versi Indonesia terinspirasi dari kisah awan ungu dari Dewi Selene dan kekasihnya Endymion, melahirkan pemuda Narcissus yang narsis tingkat dewa. Tentu aku terkagum akan pengetahuan Pak Siwon yang cemerlang.
Burung-burung pipit berceloteh riang, mengisi udara yang hampa dan senyap. Aku menoleh dengan heran, karena Pak Siwon tidak menanggapi perkataanku. Hah? Ternyata Pak Siwon sudah menghilang, hanya menyisakan jejak roda skuter yang basah, karena kami baru saja melintas di jalan tanah yang becek. Dengan cemas aku menoleh ke segala arah, menemukan diriku tersasar di sebuah jalan perbukitan yang menurun terjal. Aku terus bersepeda dengan liar, tak mampu menggenggam rem yang sudah blong, sebelum tergelincir menuruni lereng, bersiap terjerumus dalam jurang yang gelap.